
Biografi Kiai Abdul Karim (1): Jejak Perjuangan dan Keteladanan Sang Muassis Pondok Pesantren Lirboyo
Di balik kemegahan dan popularitas Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, tentu saja terdapat peran penting dari para pendahulunya. Melalui berbagai usaha baik secara fisik maupun spiritual, pesantren ini telah menghasilkan banyak alumni yang memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat.
Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah KH Abdul Karim, pendiri (muassis) Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Dari segi penampilan, KH Abdul Karim tidak terlihat mencolok sebagai seorang kiai besar. Beliau dikenal sebagai sosok yang mengutamakan sikap rendah hati dan gaya hidup sederhana, sehingga kesan yang muncul adalah bahwa ia tampak seperti orang biasa, bukan seorang kiai besar. Bahkan, hanya segelintir orang yang benar-benar mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
Latar Belakang Keluarga
Nama asli Kiai Abdul Karim adalah Manab. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 di Dukuh Banar, Desa Diyangan, Kawedanan Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, sebagai anak ketiga dari pasangan Abdur Rahim dan Salamah. Selain berprofesi sebagai petani, ayah Kiai Manab juga seorang pedagang. Sepeninggal ayahnya Abdur Rahim, Kiai Manab memutuskan untuk merantau demi menuntut ilmu, mengikuti jejak kedua kakaknya yakni Aliman dan Mu’min.
Keinginan Kiai Manab dipicu oleh kharisma para alim ulama yang merupakan pengikut Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi’i dari Bagelan dan Kiai Hasan Bashori dari Banyumas. Ia tidak ingin hanya menjadi orang biasa, sehingga meskipun berasal dari keluarga petani, ia percaya bahwa keturunan yang sejati adalah yang dihasilkan oleh generasi berikutnya, bukan yang sebelumnya. Bagi Kiai Manab, garis keturunan tidaklah penting yang terpenting adalah ilmu.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Suatu ketika, Aliman (kakaknya) kembali ke Magelang dan mengajak Kiai Manab yang saat itu berusia 14 tahun, untuk berkelana. Atas izin dari orang tua, Kiai Manab berangkat menuju Jawa Timur. Dalam perjalanan, mereka tiba di Dusun Gurah, Kediri, dan menemukan sebuah surau yang diasuh oleh seorang kiai. Di tempat tersebut, Kiai Manab mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amaliyah, sambil membantu memanen padi sebagai buruh.
Setelah dirasa cukup, Kiai Manab melanjutkan nyantri di salah satu pesantren di Cepoko, yang terletak 20 kilometer di selatan Nganjuk, di mana ia belajar selama enam tahun. Selanjutnya, ia berpindah ke pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, untuk memperdalam pemahaman Al-Qur’an. Seiring berjalannya waktu, Kiai Manab semakin dewasa dan terus menambah ilmunya dengan giat. Ia merasa tidak puas hanya belajar di dua pesantren, sehingga ia pindah ke pesantren Sono di Sidoarjo, yang terkenal dengan pengajaran ilmu shorof. Di pesantren ini, ia tinggal selama tujuh tahun dan tidak lagi bekerja sambil belajar, karena semua kebutuhannya ditanggung oleh kakaknya.
Kiai Manab pernah menceritakan kepada cucu tertuanya, almaghfurlah Kiai Ahmad Hafidz: “Aku bisa nyantri, karena diangkat oleh kakakku.” Di pesantren Sono, Kiai Manab mendalami ilmu shorof, yang ia anggap sebagai ibu dari ilmu, sedangkan nahwu adalah ayahnya ilmu. Setelah itu, ia melanjutkan nyantri di pesantren Kedungdoro dan kemudian ke Madura untuk belajar dari Kiai Kholil Bangkalan (wafat tahun 1923).
Di bawah bimbingan Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Manab nyantri selama hampir 23 tahun. Pada saat itu, ia sudah berusia 40 tahun dan telah menunjukkan sebagai sosok seorang kiai. Para santri menganggap Kiai Manab sebagai kiai, tempat untuk bertanya, meminta nasihat, dan belajar. Salah satu kiai yang pernah berguru kepadanya adalah Kiai Faqih dari Patik Nganjuk.
Menghadapi Kesulitan dan Cobaan
Selama menuntut ilmu di Madura, Kiai Manab disamping belajar beliau juga menghadapi berbagai kesulitan (masyaqat) dan cobaan. Saat di pondok pesantren pakaian yang dikenakannya hanyalah sepasang, saat beliau mandi maka pakaiannya itu dibasuh sembari kungkum (Jawa: Berendam) menunggu keringnya pakaian beliau menghafalkan nadzam Alfiyyah Ibn Malik.
Lantaran tidak memiliki cukup bekal, beliau akhirnya memutuskan untuk bekerja dan berusaha sendiri, seperti ikut serta derep (ikut memanen padi milik orang lain dengan imbalan atau upah padi) untuk mendapatkan penghasilan. Ia sempat bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama Abdullah Fiqih dari Cemara, Banyuwangi, di daerah Banguwangi dan Jember.
Namun sesampainya di pondok, beliau diuji hasil kerjanya tersebut justru diminta oleh Kiai Kholil untuk makanan ayam miliknya. Hal ini menjadi tanda bahwa ia tidak diperbolehkan untuk bekerja. Sebagai gantinya, Kiai Manab kemudian ngrowot (tradisi puasa dalam masyarakat Jawa yang dilakukan dengan menahan diri dari makanan berbahan beras dan menggantinya dengan umbi-umbian, jagung, dan sayuran) makannya dengan memetik daun bentis (daun dari tanaman mengkudu) yang tumbuh di sekitar pondok sebagai makanan sehari-hari. Bahkan ia sering kali makan sisa kerak nasi dari teman-temannya atau kadang-kadang ampas kelapa.
Kendati dalam keadaan seperti itu, Kiai Manab tidak pernah mengeluh. Selama bertahun-tahun, ia menjalani tirakat. Tidak mengherankan jika Kiai Manab lebih dikenal sebagai santri yang tahan dalam keadaan lapar. Semua itu ia anggap sebagai bentuk perjuangan untuk meraih sesuatu yang diharapkan di masa depan.
Saat berada di pondok, Kiai Manab tidak memiliki banyak kitab seperti teman-teman sebayanya. Namun hal itu tidak membuat dirinya patah semangat. Pernah suatu ketika, ketika beliau hendak mengaji kitab Fathul Mu’in, kitab Fathul Qorib miliknya dijual demi mendapatkan kitab tersebut. Hal ini menunjukkan dedikasi dan komitmennya dalam menuntut ilmu.
Diambil Menantu oleh Kiai Sholeh Banjarmlati
Setelah sekian lama, Kiai Kholil merasa bahwa Kiai Manab sudah dianggap lulus dan cukup. Kiai Manab lalu berpamitan untuk pulang ke Magelang, tetapi setibanya di Jombang ia mendengar bahwa sahabatnya Kiai Hasyim Asy’ari, telah mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang, selama tiga tahun. Kiai Manab kemudian singgah di pesantren tersebut dan nyantri selama lima tahun, beliau disitu mengajar kitab nahwu shorof.
Meskipun usianya mendekati 50 tahun, Kiai Manab belum juga menikah. Tanpa diduga, seorang kiai dari Pare datang kepada Kiai Hasyim dengan niat untuk melamar Kiai Manab. Namun, Kiai Hasyim secara diam-diam menolak lamaran tersebut, karena ingin menjodohkan Kiai Manab dengan putri KH Sholeh dari Banjarmlati, Kediri.
Akhirnya, Kiai Manab, yang saat itu berusia 50 tahun, menikahi Siti Khodijah binti Kiai Sholeh (Nyai Dlomroh) yang berusia 15 tahun. Meskipun sudah menikah, Kiai Manab tetap melanjutkan nyantri di Tebuireng. Enam bulan kemudian, sebagai sosok suami ia tinggal di Banjarmlati untuk mendampingi istrinya. Setahun setelah pernikahan, mereka dikaruniai putri pertama yang bernama Hannah, akan tetapi kala itu Kiai Manab masih belum memiliki rumah.
A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
20 Mar 2025
Kisah perjalanan hidup KH Abdul Karim sarat dengan nilai-nilai keteladanan, beliau menunjukkan bahwa ketekunan dan keikhlasan adalah kunci untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi
Ma'had Aly Lirboyo
17 Mar 2025
Seringkali kita menemukan orang yang menafsirkan Al-Qur’an hanya dengan mencomot suatu pendapat tanpa mengetahui latar belakang dan metodenya. Berikut Penjelasannya
18 Mar 2025 745 views
Kegiatan Safari Ramadhan merupakan wujud pengabdian yang luar biasa dari mahasantri Ma’had Aly Lirboyo dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin
17 Mar 2025 466 views
Mahasantri Beasiswa Cendekia Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Ma’had Aly Lirboyo mengadakan buka bersama dengan Yayasan Yatim Dhuafa Sahhala Mojoroto, Kediri.
26 Mar 2025 417 views
AT-TAHBIR: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Bidang Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah (BP2KI) Ma’had Aly Lirboyo.

Comments are not available at the moment.