Kaidah Bijak dalam Berbicara
Kaidah Bijak dalam Berbicara
25 April 2022 santri lirboyo
Kaidah Bijak dalam Berbicara | Lisan manusia merupakan anugerah agung dari Allah Swt. Akan tetapi lisan manusia merupakan salah satu anggota badan yang banyak digunakan untuk berbuat maksiat. Dalam satu hari seorang laki-laki dapat berbicara 20.000 kalimat, sedangkan perempuan hingga 40.000 kalimat. Di mana setiap kalimat tersebut, pasti akan ada hisabnya satu demi satu.
Dapat dibayangkan berapa banyak yang harus dipertanggungjawabkan di depan timbangan amal kelak sebab lidah manusia. Dan tidak ada solusi kecuali dengan cara mengengkang dan menahan lidah untuk tidak mudah dan banyak bicara.
Keadaan seseorang yang baik adalah ketika mereka mampu menjaga lidah dan mengekangnya untuk tidak berbicara sesuatu yang tidak ada nilainya, apalagi ucapan yang mengandung unsur dosa. Begitu yang biasa diucapkan oleh kebanyakan orang.
Berbicara hal-hal yang tidak berguna
Berbicara akan sesuatu yang tidak berguna bagaikan orang yang mampu mengambil simpanan emas, akan tetapi menggantinya dengan mengambil tumpukan tanah yang tidak bermanfaat. Karena sesungguhnya harta utama bagi seorang hamba adalah waktunya. Ketika dia meluangkan waktunya untuk hal tidak bermanfaat dan tidak menggunakan dengan sebaik-baiknya, maka ia telah merugi. Alangkah ironisnya seorang manusia telah membuang-buang modal utama yang pernah dimilikinya. Rasulullah SAW. Bersabda:
????? ??????? ????? ??? ???? ???? ???? ?????: «???? ?????? ????????? ????????? ???????? ?????? ?????????». (???? ????)
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah ketika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Berbicara akan sesuatu yang tidak bermanfaat sama halnya dengan membuang-buang waktu. Di mana jika ia diam tentunya tidak akan menimbulkan dosa atau hal yang dapat membahayakan dirinya. Baik pada saat itu ataupun waktu yang akan datang.
Sesuatu yang masih berkaitan dengan hal ini termasuk bertanya tentang sesuatu yang tidak berguna. Karena dengan bertanya akan hal yang tidak berguna kepada seorang teman, sama halnya memberi kesempatan bagi seorang teman tadi untuk kehilangan waktunya sangat berharga.
Cara Bijak dalam Berbicara
Cara atau kaidah bijak dalam berbicara yaitu mengutarakan sesuatu yang diperlukannya. Jika cukup dengan satu kalimat, maka ucapkanlah dengan satu kalimat. Ketika ia mengucapkan dengan dua kalimat, berarti ia sudah tidak bijak dalam berbicara. Kecuali ucapan-ucapan itu memang dibutuhkan dan memiliki faidah. Baik terkait dengan kemaslahatan dunia maupun akhirat.
Terdapat sebuah riwayat bahwa Abu Bakar As-Shidiq selalu meletakan kerikil kecil di bawah lidahnya dan mengambilnya ketika ia akan berbicara. Ini dikarenakan sifat wira’i dan kehati-hatian beliau untuk menjaga lisannya dari perkataan-perkataan yang tidak perlu. Imam Ibrahim al-Taimiy berkata: “Jika seseorang ingin berbicara, maka pikirkan terlebih dahulu apa yang hendak dikatakan. Jika dianggap baik maka bicarakanlah. Jika tidak, maka lebih baik diam. Sedangkan seorang fajir, dia bebas berbicara tanpa terkontrol.”
Sependapat dengan itu, seorang Mukmin seharusnya berpikir terlebih dahulu, tentang apa yang ingin ia katakan, serta tidak menyakiti hati orang yang diajak bicara. Keadaan ini bukan yang bermaksud meninggalkan perkataan sepenuhnya, karena manusia pastinya membutuhkan pembicaraan. Akan tetapi seharusnya, ia berbicara sesuai kadarnya saja.
Kesadaran akan Dicipakannya Lisan
Harusnya seseorang menyadari bahwa lidah diciptakan untuk selalu menyebut atau berzikir kepada Allah, sedangkan selainnnya, untuk suatu pembicaraan yang bermanfaat. Ketika berbicara aka suatu hal yang lebih, berarti ia termasuk orang yang tidak mengetahui hakikat penciptaan lisan, serta telah membuang waktunya secara cuma-cuma. Padahal setiap nafas merupakan modal utama agar menjadikan kesempatan untuk meraih ridha-Nya.
Refrensi:
Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin juz. 3, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2018, Beirut, Lebanon.
K.H. Segaf Hasan Baharun M.H.I, Terapi Hati Dan Jiwa, Ma’ had Darullughoh Wa Da ’wah, 2017, Pasuruan.
Penulis: Robby Zidni Nuro Muhammad Bag. C.03