Analisis Metodologi Tafsir Kekinian: Studi Metode Tafsir Bil Ra’yi
Analisis Metodologi Tafsir Kekinian: Studi Metode Tafsir Bil Ra’yi
Dalam kajian tafsir yang ada diera Gen-Z ini seringkali kita menemukan orang yang menafsiri kalamullah hanya dengan mencomot pendapat-pendapat para pendahulu yang tidak diketahui latar belakang dan metode mereka dalam menafsiri Al-Qur’an. Lebih parahnya lagi terkadang pendapat yang diikuti ternyata merupakan kalangan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam menafsiri ayat Al-Qur’an bahkan tidak sehaluan dengan akidah Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja).
Propaganda yang marak terjadi tersebut disebabkan oleh ungkapan: “Sudah saatnya kembali kepada Al-Qur’an dan hadist.” Jargon itu mengakibatkan banyak kalangan umum atau orang yang tidak punya background disiplin ilmu tafsir seenaknya sendiri dalam memaknai Al-Qur’an, padahal dalam mengkaji dan memaknainya butuh ilmu yang luas, terutama ilmu (alat) tentang kajian tafsir dan metodologi penafsiran yang sistematik dan obyektif. Oleh karenanya, menafsiri ayat Al-Qur’an bukanlah hal yang mudah dan ringan.
Tafsir Al-Quran adalah kajian yang bisa dikatakan paling berat, bagaimana tidak tafsir termasuk kajian yang menginterpretasikan kalam Allah sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Maka dari itu, kita dalam menafsiri ayat Al-Qur’an tidak boleh sembarangan dan asal-asalan harus melalui metode-metode yang telah dirumuskan oleh para pakar tafsir yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya.
Metode Penafsiran Al-Qur’an Berikut Syaratnya
Perlu kita ketahui, terdapat beberapa metode yang diterapkan para ulama dalam menafsiri ayat Al-Quran. Salah satunya ialah tafsir bil ma’tsur yaitu kajian tafsir yang dalam menafsiri ayat Al-Qur’an menggunakan hadis-hadis Nabi atau kalam para Sahabat dan Tabi’in. Namun, yang ingin penulis bahas kali ini adalah metode yang akhir-akhir ini marak sekali digunakan oleh kalangan cendikiawan modern yakni metode tafsir bil ra’yi.
Tafsir bil ra’yi diartikan oleh para ahli tafsir seperti Imam as-Suyuthi dalam kitab Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an adalah sebuah bentuk penafsiran yang didasari pemikiran dari mufassir itu sendiri. Sehingga, tafsir bil ra’yi tidak berlandaskan hadis-hadis Nabi maupun kalam Sahabat dan Tabi’in. Untuk bisa dikategorikan sebagai tafsir bil ra’yi, seseorang perlu memahami serta mengikuti kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang sangat ketat.
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya menjelaskan setidaknya ada empat kriteria yang harus dipenuhi dalam penerapan metode tafsir bil ra’yi: Pertama, tidak bertentangan dengan tafsir yang diusung oleh ulama salaf yang sesuai dengan hadis. Kedua, mengambil dari perkataan sahabat. Ketiga, menententukan bahasa yang masih samar dan menjelaskan bahasa yang masih mutlak (absolut). Keempat, tidak menyalahi ilmu kalam. Kelima, mengetahui tentang mujmal, muayyin, ‘am, khos dll. Keenam, mengerti tentang ilmu qiraat.
Mengenai tafsir bil ra’yi ini, tidak semua tafsir yang sudah sesuai dengan empat kaidah tadi dapat dibenarkan, terkadang metode yang digunakan sudah benar namun kredibilitas mufassir tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai seorang pakar tafsir, maka dalam keadaan demikian kita tidak boleh mengambil rumusan dari mufassir tersebut. Imam Al-Alusi membeberkan kriteria-kriteria yang harus depenuhi seseorang agar diperbolehkan untuk menafsiri Ayat Al-Quran, setidaknya ada tujuh yang beliau sebutkan yaitu: Memahami Ilmu Lughot Arabiyah (bahasa Arab), Menguasai susunan kalimat, Ilmu Ma’ani plus Bayani, menguasai Ilmu Hadis (termasuk asbabun nuzul, nash, mujmal), Ushul Fiqh, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Qira’at, bahkan ada sebagian ulama yang mengharuskan seorang mufassir mahir dalam Ilmu Fiqh.
Model Penafsiran Bil Ra’yi
Contoh kajian tafsir bil ra’yi diantaranya terdapat dalam “cabang” tafsir yang disebut dengan tafsir kauniyyah. Tafsir ayat kauniyyah adalah salah satu tafsir yang metodenya menggunakan ijtihad melalui realita-realita yang ada, kita sering mendengarnya dengan sebutan ‘tafsir sains’ untuk membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an melalui pandangan sains. Semisal dalam kandungan ayat:
?????? ?????? ??? ????????? ???????? ???????? ???????? ??????? ?????????? ????????? ??? ?????????
Artinya: “Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (Q.S. Al-An’am: 125)
Ulama kontemporer dalam menafsiri ayat kaannama yassho’adu fi as-sama’ mengartikan bahwa seseorang yang naik ke ketinggian atmosfir akan kesulitan dalam bernafas disebabkan tidak adanya oksigen. Hal ini membuktikan teori sains yang mengatakan, di ketinggian atmosfir memang tidak ada oksigen.
Tafsir dalam metode demikian menurut ulama tafsir kontemporer boleh-boleh saja dengan syarat realita yang kita bahas bisa dipadukan dengan ayat Al-Qur’an memang betul-betul riil, karenanya tidak diperbolehkan jika realita yang dibahas adalah sebuah hal yang masih diperdebatkan dalam penelitian atau hanya sebatas dugaan belaka. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Asy-Sya’rowi dalam Tafsir Asy-Sya’rowi dalam menafsiri ayat:
??????? ?????????? ??????????? ????????? ?????? ??????? ????? ?????????? ?????? ??????? ??????? ???????? ????? ?????? ??????? ??????? ????? ???????????
Artinya: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Naml: 88)
Imam Asy-Sya’rowi saat menafsiri ayat diatas mengartikan bahwa gunung adalah suatu elemen padat yang bergerak tidak berdiam diri. Dengan memahami bahwa ayat diatas menyebutkan gunung adalah sesuatu yang bergerak. Padahal semestinya ayat tersebut memiliki konteks yang berbeda, dan pada realitanya juga belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Oleh karenanya, ada sebagian mufassirin yang kurang sependapat dengan paparan tafsir diatas.
Selanjutnya, setelah menelaah penulis menemukan keterangan di dalam Kitab Fath Al-Bayan Fi Maqasid Al-Qur’an tentang metode pentafsiran Bil ra’yi. Metode ini diklasifikasi menjadi lima bagian: Pertama, penafsiran tanpa menghasilkan ilmu. Kedua, mentafsiri ayat mutasyabih, yang memang tidak ada yang mengerti kecuali Allah. Ketiga, menafsiri sesuatu yang ditetapkan oleh mazhab yang fasid. Keempat, menafsiri bahwa yang dihendaki Allah demikian, tanpa didasari dengan dalil. Kelima, tafsir dengan memperindah sesuai kehendak nafsunya dan menafsiri dengan jalan taqlid.
Kelima perincian tafsir bil ra’yi diatas (menurut pengarang kitab Fath Al-Bayan) tidaklah diperbolehkan. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mengetahui perihal metode penafsiran yang memang dilegalkan oleh syara’ dan metode penafsiran yang banyak dipakai oleh para pakar tafsir (mufassirin).
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa penafsiran dengan metode bil ra’yi rawan mengakibatkan kesalahan dalam menafsiri, sehingga dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain, bahkan bisa sampai mengakibatkan terjerumus dalam kekufuran, na’udzubillah min dzalik. Oleh sebab itu, Al-Ghozali cenderung untuk tidak membolehkannya. Meski demikian satu sisi metode tafsir bil ra’yi ini diperbolehkan menurut pandangan ulama-ulama kontemporer sebagaimana keterangan diatas.
Melihat realita tersebut seorang penafsir Al-Qur’an diibaratkan layaknya seorang dokter, ia harus punya keilmuan yang kompatibel untuk membuka praktik pengobatannya. Sama seperti halnya seseorang tidak akan menyerahkan keluarganya yang sakit kepada dokter yang tidak punya sertifikat dan keahlian (abal-abal) dalam ilmu kedokteran.
Jangankan ketujuh syarat yang disebutkan oleh Imam Al-Alusi untuk sekadar bercakap dengan bahasa Arab kekinian saja banyak yang sudah kesusahan, apalagi mencoba untuk memahami bahasa Al-Quran yang notabenenya termasuk bahasa Arab kuno sekitar 1300-an tahun yang lalu, jelas berbeda dengan bahasa Arab sekarang.
Belum lagi ditambah harus mengusai disiplin ilmu fikih dan syarat-syarat ketat lainnya. Lantas masih adakah keinginan untuk menafsiri Al-Quran tanpa memahami metodenya? Dengan begitu, di zaman sekarang tidak diperkenankan sembarangan mengikuti kajian tafsir dari orang yang tidak memiliki kapabilitas dalam bidangnya. Harus selektif dalam memilih, jangan sampai terpedaya dengan narasi legalitas tafsir“Bil ra’yi”. [AZ]
Oleh: Ilan Ta’rif Dliyaul Haq
(Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Marhalah Ula Semester I-II)