Historiografi Modern dan Analisis Sejarah Nabi Sebagai Insani (2)
Historiografi Modern dan Analisis Sejarah Nabi Sebagai Insani (2)
Mengenai perkembangan dan keberagaman penyajian sejarah Nabi, kiranya ada pergeseran dari karya-karya ulama salaf terdahulu yang selalu kita anuti dan kita buat pedoman. Terkait hal ini Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Sirah Nabawiyyah nya mengatakan:
“Banyak penulis yang begitu gemar menggambarkan kehidupan Rasulullah SAW sebagai kehidupan manusia biasa yang jauh dari hal-hal luar biasa dan mukjizat. Gambaran seperti ini akan memberikan kesan kepada pembaca bahwa sirah Rasulullah sangat jauh sekali dari mukjizat dan bukti-bukti yang biasanya digunakan Allah untuk mendukung para nabinya. Jika kita telusuri, teori seperti ini muncul dari pemikiran sebagian kaum orientalis. Timbulnya teori ini disebabkan karena tidak adanya keimanan kepada pencipta mukjizat.”
Tragisnya teori seperti ini disambut baik oleh sebagian pemikir Muslim seperti Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi dan Hussain Haikal. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran asing ini hanya karena mereka tertipu oleh kelicikan tipu daya musuh dan fenomena kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran asing yang dikemukakan oleh sebagian kaum Muslimin ini, oleh para musuh Islam, khususnya orientalis, dijadikan alat untuk membuka medan dan ladang-ladang baru untuk melakukan ghazwul fikri dan menimbulkan keraguan kaum muslimin terhadap agamanya. Mereka mulai membuang istilah wahyu, mukjizat dan hal-hal luar biasa ke dalam ranjang mitologi atau dongeng yang sudah usang. Pada saat itulah akan muncul anggapan bahwa sebab kemajuan dakwah Rasulullah SAW dan banyaknya pengikut yang setia kepadanya karena faktor kejeniusan dan kepahlawanan.”[1]
Lalu, kita sebagai tonggak penerus estafet keilmuan islami harus mulai tanggap dan cermat terhadap perkembangan historiografi kekinian. Mengapa harus mereka yang menyusun sejarah Nabi, sehingga sangat kecil sekali potensi terlepas dari tipu daya dan konspirasi. Di mana para generasi yang seharusnya menjadi pewaris Nabi, kita tidak sepantasnya melepas begitu saja sejarah penuntun hidup kita kepada mereka.
Kita mengaku cinta pada Nabi Muhammad SAW, namun kita tidak spontan reflek terhadap hal yang baru, yang menyangkut baginda Nabi. Kita mengaku rindu dan menginginkan syafaat beliau tapi kita tidak mau mengupas dan membahas problematika yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Lantas apa makna cinta dan rindu yang kita utarakan, apakah kita tidak malu meminta dan mengemis syafaat beliau tapi kita tidak simpati dan enggan meluangkan waktu sedikit saja, untuk merenungi dan menyelamatkan martabat beliau dari musuh-musuhnya.
Oleh: PBM Ma’had Aly Semester II (2024)