
Mengkaji Isu Feodalisme Pesantren
Pesantren, merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah lama berdiri di Indonesia. Keberadaannya pun tidak bisa dipisahkan dari Islam di Indonesia. Awal mula berdirinya pesantren beriringan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Bahkan, sejarah mencatat bahwa keberadaan pesantren sangat lekat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia.
Namun demikian, romantisme sejarah kerap kali menutupi kenyataan bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Setiap tradisi, betapapun kuat pijakan historisnya, tetap perlu dikaji secara kritis agar tidak menimbulkan kepongahan atas nama masa lalu.
Suatu lembaga atau institusi dapat disebut pesantren jika memenuhi tiga unsur, yaitu: kiai, santri, dan lokasi (pesantren). Dalam artian, pesantren merupakan lembaga yang dipimpin oleh seseorang yang biasa disebut kiai, ajengan, gurutta, atau gelar lainnya, yang memiliki kecakapan dan kapasitas dalam keilmuan agama, serta fokus memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang yang berada di dalam pesantren, yang biasa disebut santri, dengan berlandaskan pada Al-Qur’an, hadis, dan kitab kuning. Meski demikian, pesantren tidak hanya fokus pada pendidikan agama semata, tetapi juga memberikan pendidikan sosial, ekonomi, pertanian, dan lain sebagainya. Sebab, moto yang dibangun pesantren adalah memberdayakan santri agar menjadi manusia yang bermanfaat.
Pesantren telah terbukti mampu mencetak santri berpengaruh dalam kemajuan masyarakat atau negara, baik dalam bidang ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum, maupun ketatanegaraan. Keseharian santri yang berkutat dengan segenap ritual keagamaan dan fokus terhadap kitab kuning tidak menjadi penghalang bagi kemajuan mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Capaian ini membuktikan bahwa pesantren tidak hanya berfokus pada peningkatan kualitas spiritual religius seseorang, tetapi juga berperan dalam membangun komunitas masyarakat yang mapan secara duniawi. (Abuddin Nata – Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Rajawali Pers, 2005))
Namun, akhir-akhir ini mencuat isu feodalisme pesantren, yang ramai diperbincangkan di media sosial, Salah satu elemen yang menjadi sorotan tajam dalam dinamika pesantren adalah posisi kiai sebagai figur sentral, yang secara kultural ditempatkan dalam puncak otoritas yang nyaris tak tergapai oleh kritik. Menurut Martin van Bruinessen (1995) dan Karel A. Steenbrink (1986), fenomena ini menghadirkan atmosfer yang tidak jauh berbeda dari watak feodal, sehingga pemikiran kritis tenggelam dalam gelombang kepatuhan yang tidak selalu dilandasi oleh nalar dan pemahaman mendalam. Karena itu, pesantren dianggap sebagai bentuk feodalisme baru di era modern, atau yang masyhur dikenal dengan istilah Neo-Feodalisme. (Martin van Bruinessen – Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Mizan, 1995), dan Karel A. Steenbrink – Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (LP3ES, 1986))
Istilah pesantren sebagai neo-feodalisme merujuk pada pandangan kritis terhadap relasi kuasa dalam lingkungan pesantren yang dianggap mereproduksi struktur sosial serupa feodalisme lama, yakni sistem sosial yang sangat hierarkis dan otoriter, namun dalam wajah baru (neo) di era modern. Narasi ini tidak hanya muncul dari relasi kuasa, melainkan juga diperkuat oleh beberapa praktik atau tradisi yang telah mengakar kuat. Tradisi mencium tangan, menunduk, atau membungkukkan badan di hadapan seorang kiai, serta meyakini keberkahan sisa air minum atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kiai, disinyalir sebagai tradisi turunan dari neo-feodalisme.
Relasi kuasa yang hierarkis telah membentuk pandangan bahwa kiai adalah figur utama yang tidak bisa digoyahkan dalam segala hal. Titah dan kehendaknya mutlak harus dipatuhi tanpa mempertanyakan kebenarannya. Hanya kata “sam’an wa tha’atan” yang berlaku dalam benak santri.
Lantas, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang menilai bahwa pesantren adalah neo-feodalisme? Dan bagaimana cara menyikapinya?
Pada Malam selasa, 5 juli 2025, Mahasantri Ma’had Aly semester V mengadakan Bahtsul Masail perdana bertemakan “FEODALISME PESANTREN– Telaah Kritis Terhadap Fenomena Pengkultusan Tokoh di Ranah Sosial-Budaya Keagamaan’’. Masing-masing aktivis bahtsu mengutarakan argumen beserta referensinya dari beberapa kitab salaf maupun khalaf. Bahtsul masail berjalanketat, laju bahsul masail dipantau dan diarahakan oleh bapak-bapak perumus LBM P2L, sebelum ditashih oleh para mushohih (Bpk. Kyai Syaiful Anwar dan Agus HM. Said Ridwan. Bahtsul masailpun berakhir pada pukul 05:15 Wis pagi.
Salah satu mahasantri dan aktivis pegiat musyawaroh Sdr. M. I’lan Ta’rif Dliyaulhaq berpendapat terkait hasil bahsul masail “Yang bisa saya simpulkan dari bahtsul masail tadi, bahwa feodalisme dan adab yang diterapkan di pesantren tidaklah sama (terdapat disclaimer antara arti feodal dengan praktik adab) karena sejatinya adab yang dipraktekkan dipesantren bukanlah feodalisme. Feodal adalah perbudakan yang ditetapkan oleh pihak atasan kepada bawahannya yang mutlak harus di patuhi, sedangkan adab adalah relasi antara murid dan guru yang diatur oleh syariat dan sudah selayaknya dijalankan oleh murid tanpa paksaan dari pihak yang lebih berkuasa.”
Faktanya khazanah pendidikan Islam memang membuka lebar ruang diskusi, terlebih jika murid kurang faham terkait materi yang disampaikan oleh gurunya. namun, diskusi tersebut harus disertai dengan akhlak dan adab yang baik dan tidak mencedrai marwah seorang guru.
Justru, feodalisme pesantren adalah isu lama yang dikemas dan digaungkan ulang oleh oknum yang alergi dengan sistem pesantren. Dulu sempat ada propaganda serupa seperti mengkaji ulang kelayakan kitab ta’lim al-muta’alim, ada juga isu relevansi keabsahan kitab kuning. Kita sebagai santri tidak perlu ikut-ikutan dan terbawa arus dengan apa yang dipropagandakan oleh mereka. Karena yang terpenting bagi santri bukan sekedar mencari ilmu tapi juga mendapatkan cahaya ilmu (nur al-Ilm), dengan taat dan berakhlak kepada seorang guru.
Sdr. Maftuhul hija selaku moderator dalam bahtsul masail ikut menyimpulkan bahwa, “untuk mengkaji persoalan feodalisme yang disematkan pada kultur pesantren terlebih dahulu harus mengkaji bagaimana etika dan relasi antara murid dan guru yang diajarkan dalam khazanah keislaman. Dalam kajian kitab turats seorang murid diharuskan meyakini kesempurnaan sang guru, menjaga marwahnya, menghindari hal-hal yang berpotensi menyakiti perasaanya, serta menumbuhkan rasa mahabbah untuk mendapatkan ridhanya. Kendati demikian, ruang diskusi ilmiah tetap terbuka lebar dengan tetap menjaga dan mengedepankan etika. Penghormatan terhadap guru pun bersifat proposional dalam arti tidak meyakini sebagai prbadi yang ma’shum.”
Berpijak dari hal ini dapat ditarik benang merah bahwa titik perbedaan antara feodalisme dan kultur pesantren adalah karaktristik feodal yang bersifat anti kritik dan otoriter sedangkan kultur pesantren yang mengedepankan musyawarah dan membuka ruang diskusi ilmiah dengan memperhatikan etika-etika yang diajarkan dalam khazanah keislaman. Sehingga budaya yang terjadi di pesantren tidak serta merta menutup sikap kritis seorang santri. Lantas, dari narasi subjektif demikian apakah masih layak pesantren diklaim sebagai neo-feodalisme?
Coba pikirkan lagi matang-matang!
Editor: Syauqi Multazam
Penulis: Yasir Lana (Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Semester V Bag. A1)
Redaktur
11 Jun 2025
الشيخ عوض الكريم عثمان العقلي أمين الأمانة العلمية بالمجمع الصوفي السودان يوضح حول حب الوطن من منظور كتب التراث
Redaktur
10 Jun 2025
Cinta tanah air memiliki landasan syariat yang kuat, berikut penjelasannya
Fuad Amin
03 Jun 2025
Dzulhijjah tidak hanya bulan ibadah, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti kepedulian sosial, kesetaraan, dan solidaritas antar sesama
Ma'had Aly Lirboyo
23 Apr 2025
Energi Kita, Planet Kita, menyerukan energi terbarukan dan mendorong peningkatan pembangkitan listrik ramah lingkungan
Ma'had Aly Lirboyo
17 Mar 2025
Sebagai warga negara, perlu kiranya untuk melihat bagaimana para leluhur memperjuangkan bangsa. Ini penjelasannya melalui pendekatan sejarah
Ma'had Aly Lirboyo
17 Mar 2025
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri. Berikut ini modal utama dalam membangun interaksi sosial
07 Jul 2025 70 views
Catatan Bahtsul Masail Perdana mahasantri semester V Ma’had Aly Lirboyo bertemakan “FEODALISME PESANTREN- Telaah Kritis Terhadap Fenomena Pengkultusan Tokoh di Ranah Sosial-Budaya Keagamaan’’
07 Jul 2025 115 views
Sebuah buku untuk siapa pun yang ingin memahami isu perempuan dalam Islam secara mendalam.
07 Jul 2025 58 views
Buku ini menyajikan sekitar 1500 topik kajian yang keabsahan dan keilmiahan jawabannya terjamin

Comments are not available at the moment.