Home » Artikel » Artikel Mahasantri » Meluruskan Arah Pembaruan Hukum Islam: Dari Rekonstruksi Menuju Kontekstualisasi

Meluruskan Arah Pembaruan Hukum Islam: Dari Rekonstruksi Menuju Kontekstualisasi

Redaktur 19 Agu 2025 424

Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan tentang pembaruan Islam makin ramai diperbincangkan. Di kampus, forum diskusi, bahkan di media sosial, muncul gagasan-gagasan yang mengajak umat Islam untuk melakukan “rekonstruksi” ajaran Islam. Kata ini terdengar modern dan menjanjikan, seolah-olah Islam perlu dibongkar ulang agar sesuai dengan zaman.

Namun, di sinilah letak persoalannya. Apakah ajaran Islam yang berasal dari wahyu ilahi memang perlu direkonstruksi? Apakah ajaran yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad selama dua puluh tiga tahun itu sudah tak lagi relevan, sehingga harus disusun ulang?

Pertanyaan ini penting untuk kita renungkan. Karena jika kita salah memahami arah pembaruan, maka bisa jadi yang kita lakukan bukan lagi memperbarui cara memahami Islam, melainkan merusak bangunan aslinya.

Islam adalah agama yang telah sempurna. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Ma’idah: 3). Ayat ini menjadi bukti bahwa bangunan dasar ajaran Islam sudah lengkap dan tak perlu direkonstruksi. Yang diperlukan adalah bagaimana kita memahami dan menerapkannya sesuai konteks zaman.

Di sinilah pentingnya membedakan antara “rekonstruksi” dan “kontekstualisasi”. Rekonstruksi berarti membongkar dan menyusun ulang. Sedangkan kontekstualisasi berarti memahami ajaran yang sama dengan mempertimbangkan kondisi zaman dan tempat. Yang satu merombak isi, yang lain menyesuaikan cara pandang dan penerapan.

Sebagai contoh, ajaran Islam tentang keadilan, kasih sayang, musyawarah, atau larangan riba tetap berlaku sampai kapan pun. Tapi bentuk-bentuk penerapannya bisa berbeda sesuai kebutuhan zaman. Dulu, orang berdagang dengan barter atau dinar-dirham, sekarang memakai sistem perbankan digital. Tapi prinsip larangan riba tetap bisa diterapkan, dengan pemahaman mendalam dan penyesuaian hukum yang kontekstual.

Para ulama telah memberi teladan bagaimana kontekstualisasi itu dilakukan. Imam al-Syathibi, misalnya, dalam al-Muwafaqat, menjelaskan bahwa syariat Islam dibangun di atas tujuan-tujuan besar (maqasid) seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selama suatu hukum bisa menjaga lima hal ini, maka ia sesuai dengan ruh Islam, meskipun bentuk lahiriahnya menyesuaikan zaman.

Demikian pula para ulama Nusantara sejak dulu telah melakukan kontekstualisasi dalam dakwah dan fatwa mereka. KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, hingga Gus Dur tidak pernah membongkar ajaran Islam, tapi mereka menghadirkan Islam dalam bahasa dan cara yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia.

Sayangnya, gagasan rekonstruksi yang kini berkembang sering justru meletakkan akal manusia di atas wahyu. Agama dianggap sebagai produk sejarah yang bisa ditafsir ulang seenaknya. Bahkan ada yang berani meragukan keabsahan hukum-hukum yang sudah disepakati para ulama selama berabad-abad. Ini bukan lagi pembaruan, tapi pembongkaran.

Dalam hal ini, KH. Maimun Zubair mengingatkan:

فالأحكام القرآنية أو الشرعية التي لم نستطع العمل بها لا يجوز تبديلها وتغييرها من قبل أنفسنا ولاسيما بدعوى الاجتهاد والاستنباط وإنما الواجب علينا تجاهها العمل بما أمكن في حدود أنفسنا وأسرنا وأهلينا وخدمنا ومن تحت رعايتنا قال تعالى: {لا يكلف الله نفسا إلا وسعها}

“Hukum-hukum Al-Qur’an atau syariat yang belum mampu kita laksanakan, tidak boleh diubah dan diganti oleh akal kita sendiri, apalagi dengan dalih ijtihad dan istinbāṭ. Yang wajib kita lakukan hanyalah mengamalkannya sebatas kemampuan kita, dalam lingkup diri, keluarga, dan orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita. Sebagaimana firman Allah: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Pesan ini mengisyaratkan bahwa yang dibutuhkan bukan rekonstruksi hukum syariat, melainkan kesungguhan mengamalkannya sesuai kadar kemampuan. Perubahan yang boleh dilakukan hanyalah dalam bentuk kontekstualisasi penerapan, bukan perombakan prinsip.

Islam tidak anti perubahan. Bahkan dalam sejarahnya, Islam selalu dinamis. Tapi perubahan itu harus tetap berpijak pada fondasi yang kokoh: Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas. Kita bisa menyesuaikan bentuk, tapi tidak boleh mengubah prinsip. Kita bisa mengembangkan pendekatan, tapi tidak boleh mengaburkan nilai.

Maka arah pembaruan yang tepat bukanlah rekonstruksi, melainkan kontekstualisasi. Kita tidak perlu membangun Islam yang baru, karena Islam yang diturunkan Allah sudah sempurna. Yang perlu kita lakukan adalah memahami dan menghidupkan Islam dalam bahasa zaman ini, tanpa mencabut akar ajarannya.

Dengan kontekstualisasi, Islam tetap hidup dan relevan. Ia bisa menjawab tantangan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya. Inilah pembaruan yang sejati: menjaga ajaran, merespons zaman.

Sudah saatnya umat Islam, khususnya para penuntut ilmu di lingkungan pesantren dan Ma’had Aly, bersikap jernih dalam menyikapi wacana pembaruan. Jangan sampai semangat untuk merespons zaman membuat kita tergelincir pada upaya yang merusak fondasi agama. Kita perlu membedakan antara memperbarui pemahaman dan membongkar ajaran. Islam tidak butuh rekonstruksi, karena ia bukan bangunan manusia. Islam adalah agama wahyu, dan yang dibutuhkan adalah upaya cerdas dan bijak dalam memahami serta menerapkannya sesuai situasi umat hari ini.

Melalui kontekstualisasi, kita menjaga keaslian Islam sekaligus menjawab tantangan zaman. Kita belajar dari para ulama, bukan meninggalkan mereka. Kita menggunakan akal dan ilmu, bukan menuhankannya. Maka, marilah kita luruskan kembali arah pembaruan Islam, agar tetap berpijak pada nash, berakar pada tradisi, dan bersinar dalam kenyataan.


Editor: Syauqi Multazam

Penulis: Muhammad Arfan Ahwadzy (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo Semester V)

mahadalylirboyo.ac.id

Comments are not available at the moment.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*

*

*

Postingan Terkait
Berislam dengan Bermazhab: Ikhtiar Menjaga Keabsahan Pengamalan Syariat

Redaktur

08 Okt 2025

Artikel ini membahas tentang urgensi bermazhab bagi umat Islam

Serba-Serbi Maulid Nabi, Mulai dari Keutamaan, Batasan dan Hukumnya: Kajian Maulid Nabi dalam Kitab At-Tanbihat Karya KH. Hasyim Asy’ari

Fuad Amin

04 Sep 2025

Budaya Maulid Nabi menurut Pandangan Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya

Semangat Memanusiakan Manusia di Hari Kemerdekaan: Interpretasi Sila Kedua Pancasila Perspektif Islam

Redaktur

17 Agu 2025

Merenungi makna Sila Kedua Pancasila di Hari Kemerdekaan RI ke-80

Pesan Kesetaraan dan Hikmah Perbedaan dalam Al-Qur’an

Redaktur

12 Agu 2025

Menggali pesan kesetaraan derajat perempuan dan hikmah di balik perbedaannya

Mengkaji Isu Feodalisme di Pesantren

Redaktur

07 Jul 2025

Bahtsul Masail mahasantri semester lima menelaah fenomena pengkultusan tokoh di ranah sosial-budaya keagamaan

الجوهر الغالي في اختصار الدورة العلمية مع الشيخ عوض الكريم عثمان العقلي

Redaktur

11 Jun 2025

الشيخ عوض الكريم عثمان العقلي أمين الأمانة العلمية بالمجمع الصوفي السودان يوضح حول حب الوطن من منظور كتب التراث