
Berislam dengan Bermazhab: Ikhtiar Menjaga Keabsahan Pengamalan Syariat
Dalam perbincangan tentang praktik keagamaan umat Islam, sering muncul tuduhan bahwa bermazhab telah keluar dari ajaran Rasulullah. Ada anggapan bahwa mazhab-mazhab para imam fikih merupakan ajaran yang independen dan bahkan berkompetisi dengan misi Nabi. Tuduhan ini, pada dasarnya, berangkat dari kesalahpahaman terhadap fungsi dan hakikat bermazhab dalam Islam.
Bermazhab adalah mengikuti pemahaman dan metode istinbat hukum yang dirumuskan oleh para imam mujtahid dalam rangka mengamalkan syariat Islam yang bersifat praktis. Dalam sejarah Islam, empat mazhab fikih yang mu‘tabar (terpercaya): Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, hadir melalui proses ijtihad, pengajaran, dan pembukuan sejak abad-abad awal Islam, dan menjadi rujukan umat dalam memahami hukum-hukum agama.
Jika kita memahami hukum Islam secara menyeluruh, kita akan melihat bahwa hukum Islam yang disebut fikih, adalah pedoman praktis dalam menjalankan ajaran agama. Fikih menjadi penuntun bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, dan di sinilah peran mazhab sangat dibutuhkan.
Para ulama yang ahli di berbagai bidang ilmu memiliki hak untuk berijtihad berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Mereka menyusun pedoman-pedoman hukum sesuai dengan dalil yang ada. Namun realitasnya, tidak semua umat Muslim memiliki keahlian melakukan ijtihad secara mandiri. Bagi mereka yang tidak mampu, kewajiban yang harus dijalankan adalah taqlid, yaitu mengikuti pendapat ulama mazhab yang terpercaya (mu’tabarah).
Taqlid berarti mengikuti pendapat para ulama yang sudah berijtihad dan ahli di bidangnya. Taqlid adalah cara kita memahami ajaran Islam melalui perantara para Ahli fikih yang sudah ahli, agar kita bisa menjalankan agama dengan benar dan terarah.
Sama seperti kita tidak bisa langsung menguasai tajwid Al-Quran, kita pun memerlukan imam qira’at (pakar bacaan) untuk memandu bacaan kita agar benar. Bayangkan, kalau dalam membaca Al-Quran, ada beberapa imam qira’at dengan metode yang sedikit berbeda, semuanya sah dan benar. Mereka tidak dianggap bersebrangan dengan ajaran Rasul, dan kita tidak dilarang mengikuti salah satu dari mereka. Begitu pula dengan mazhab fikih. (Al-Buti, al-Lamazhabiyyah, 1985).
Imam-imam mazhab fikih seperti Imam Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hanbali, adalah para ulama besar yang telah berjasa luar biasa dalam memudahkan umat memahami hukum agama di setiap zaman. Mereka menjadi jembatan antara kitab Allah dan sunnah Nabi dengan realitas kehidupan umat.
Sebagian kalangan memandang kitab-kitab para imam mazhab hanyalah teks-teks usang tanpa relevansi. Seiring pandangan tersebut, Syaikh Al-Buti menegaskan bahwa pandangan tersebut tidak akan mengubah fakta sejarah yang telah diakui secara universal. Kitab-kitab ini tetap menjadi sumber rujukan utama yang mengandung prinsip-prinsip hukum dan etika yang berlaku lintas zaman.
Gagasan untuk kembali membuka pintu ijtihad memang terdengar progresif, namun menurut Syaikh Al-Buti, justru terasa janggal jika ditujukan kepada masyarakat awam. Bagi beliau, ide semacam ini jika digaungkan justru lebih mengundang kebingungan daripada memberi solusi.
Tidak sedikit isu modern yang dianggap sulit sebenarnya telah dibahas dalam literatur fikih klasik, baik secara tersurat maupun tersirat. Hal ini membuka ruang untuk meninjau kembali bagaimana tradisi salaf dipahami dalam konteks modern, dalam arti: Benarkah tradisi salaf itu kaku? Atau bisa jadi, mereka yang cepat menilai tradisi salaf itu kaku sebenarnya belum menelusuri warisan intelektual Islam secara menyeluruh.
Melalui bermazhab, kita berupaya memahami ajaran Islam secara benar melalui pemikiran dan pemahaman ulama mazhab, persis seperti halnya kita memahami bacaan Al-Quran melalui para imam qira’at.
Namun demikian, selain pembacaan teks-teks ulama mazhab yang perlu diterjemahkan secara bijak, penting bagi kita untuk menjaga sikap agar tidak terjebak dalam fanatisme mazhab. Kita tidak punya hak untuk mengatakan mazhab kita lebih baik dari yang lain tanpa dalil yang jelas.
لا تعتقد أن مذهبك أفضل المذاهب وأحبها إلى الله تعالى، فإنك لا دليل لك على ذلك، ولا لمخالفك أيضاً، بل الأئمة كلهم على خير كثير
“Janganlah engkau mengira bahwa mazhabmu adalah yang terbaik dan paling dicintai Allah, sebab engkau tidak memiliki dalil atas hal itu, begitu pula bagi yang berbeda darimu. Sesungguhnya para imam semuanya berada dalam kebaikan yang banyak.” (Al-Buti, al-Lamazhabiyyah, 1985).
Sekali lagi penulis tegaskan, bermazhab adalah bagian dari upaya dalam menghayati hukum-hukum Islam. Mazhab bukanlah penghalang ajaran Rasulullah. Bermazhab merupakan ikhtiar dalam menjaga keabsahan pengamalan syariat. Wallahu a’lam.
Editor: Syauqi Multazam
Penulis: Muhammad Arfan Ahwadzy (Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Semester VI)
Ahmad Mihyal Manutho Muhammad
19 Okt 2025
Fenomena terbaru menunjukkan penilaian sepihak terhadap pesantren. Artikel ini hadir untuk menjawab tuduhan miring tersebut
Muhammad Afin
19 Okt 2025
Tulisan ini merefleksikan adab penuntut ilmu dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, sebuah telaah tafsir
Fuad Amin
04 Sep 2025
Budaya Maulid Nabi menurut Pandangan Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
Redaktur
19 Agu 2025
Membedakan antara rekonstruksi dan kontekstualisasi hukum Islam
Redaktur
17 Agu 2025
Merenungi makna Sila Kedua Pancasila di Hari Kemerdekaan RI ke-80
Redaktur
12 Agu 2025
Menggali pesan kesetaraan derajat perempuan dan hikmah di balik perbedaannya
08 Nov 2025 85 views
Ribuan mahasantri Marhalah Ula ikuti pengarahan dan sosialisasi penulisan risalah
02 Nov 2025 220 views
Peserta Dauroh Penguatan Ilmu Hadits Aswaja Ma’had Aly Lirboyo ikuti Imtihan Niha’i (ujian akhir) Kitab Taudih Musthalah Al-Hadis
02 Nov 2025 375 views
Mahasantri Semester Dua Ma’had Aly Lirboyo ulas soal kesenjangan gaji guru pada forum Bahtsul Masail
Comments are not available at the moment.