
Kajian Fikih dan Ushul Fikih: Memahami Dalil-Dalil Syariat dan Implikasi Istishlah terhadap Hukum Islam
Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo kembali melaksanakan Kuliah Takhassus dengan fokus kajian pada bidang Fikih dan Ushul Fikih bertema:
الأدلة الشرعية وأثر الإستصلاح في الفقه الإسلامي
(Dalil-Dalil Syariat dan Implikasi Istishlah terhadap Hukum Islam). Pemaparan disampaikan langsung oleh K. M. Mubasysyarum Bih, S.H. selaku mutakhassis atau tutor Kuliah Takhassus.
Dalam penyampaiannya, beliau menguraikan secara komprehensif mengenai definisi dalil, pembagiannya, serta implikasi epistemologisnya dalam penetapan hukum Islam.
Kajian ini tidak hanya menambah wawasan konseptual mahasantri, tetapi juga memperkuat nalar metodologis dalam memahami struktur hukum Islam yang berakar pada dalil-dalil syar’i.
Pengertian Dalil
Pemateri menjelaskan bahwa secara bahasa, dalil berarti sesuatu yang menunjukkan atau petunjuk. Sedangkan menurut istilah syariat, dalil adalah segala sesuatu yang menunjukkan pada hukum syar’i dengan angan-angan yang shahih.
Maksud daripada angan-angan di sini ialah kemampuan berpikir yang dapat mengantarkan pada taraf yakin atau dugaan kuat (zhann al-ghalib). Dengan demikian, dalil berfungsi sebagai jembatan antara teks wahyu dan penetapan hukum yang dapat diamalkan.
Pembagian Dalil Syar’i
A. Ditinjau dari Segi Boleh Diamalkan atau Tidak
1. Dalil yang disepakati untuk diamalkan
Yaitu Al-Qur’an dan Hadis, yang keduanya secara ijma’ (konsensus ulama) diakui sebagai sumber hukum utama dan pasti (qath’i al-hujjah).
2. Dalil yang terdapat ikhtilaf ulama kehujjahannya, namun ikhtilafnya lemah seperti halnya Ijma’ dan Qiyas.
- Menurut jumhur (mayoritas) ulama, ijma’ merupakan hujjah yang bersifat pasti (qath’i).
- Namun, sebagian tokoh seperti Nidzam Ibrahim bin Yasar Al-Bashri dari kalangan Mu’tazilah menolak ijma’ sebagai hujjah, dengan alasan bahwa ijma’ hanyalah kesepakatan pendapat untuk membela diri.
- Adapun qiyas diterima sebagai hujjah yang sahih karena telah diamalkan oleh para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya.
Menurut pandangan Imam Ar-Razi, qiyas dalam urusan duniawi (seperti pengobatan) disepakati kebolehannya, sedangkan dalam urusan syariat masih menjadi titik khilaf. Beberapa ulama, seperti Ibn Hazm, menolak qiyas karena beranggapan bahwa seluruh hukum sudah tercakup dalam nash-nash bahasa Al-Qur’an tanpa memerlukan istinbath tambahan.
3. Dalil yang terdapat ikhtilaf terkait kehujjahannya dan ikhtilafnya kuat
Misalnya maslahah mursalah, pendapat sahabat, istihsan, dan istishab. Dalil-dalil ini menjadi perbincangan panjang di kalangan fuqaha terkait status kehujjahannya.
B. Ditinjau dari Segi Sumbernya
1. Dalil Naqli
Bersumber langsung dari wahyu, meliputi Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, pendapat sahabat, syariat umat terdahulu, serta ‘urf (tradisi masyarakat).
2. Dalil Aqli
Yakni dalil rasional yang bersandar pada dalil naqli, seperti qiyas, maslahah mursalah, sadd al-dzari‘ah, istihsan, dan istishab.
C. Ditinjau dari Segi Kekuatan Hukumnya
Dalil syar’i jika dilihat berdasarkan kekuatan hukumnya, terbagi menjadi dua:
1. Dalil Qath’i (قطعي) — Yaitu dalil yang bersifat pasti, seperti Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
2. Dalil Dzanni (ظني) — Yaitu dalil yang bersifat dugaan kuat, seperti hadis ahad dan qiyas.
Pembahasan tentang Maslahah
Setelah menguraikan pembagian dalil, pemateri melanjutkan dengan pembahasan mengenai konsep maslahah sebagai salah satu metode istinbath hukum. Beliau menegaskan bahwa maslahah tidak dapat diukur berdasarkan ukuran manusia, sebab kadar kemaslahatan setiap individu cenderung berbeda-beda.
Oleh karena itu, perlu ada batasan syar’i agar maslahah tidak menjadi liar dan subjektif. Maslahah dibagi menjadi tiga kategori utama:
1. Maslahah Mu‘tabarah (المصلحة المعتبرة)
Yaitu maslahah yang diakui dan ditegaskan oleh syariat secara eksplisit.
2. Maslahah Mulghah (المصلحة الملغاة)
Yaitu maslahah yang ditolak oleh syariat, seperti anggapan bahwa pembagian warisan seharusnya setara antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah SWT telah berfirman:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa: 11)
3. Maslahah Mursalah (المصلحة المرسلة)
Yaitu maslahah yang tidak ada dalil secara tegas menerima maupun menolak keberadaannya.
Kritik terhadap Pemahaman Maslahah Mursalah
Menurut Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat tersebut, maslahah mursalah sering disalahpahami oleh sebagian pemikir Islam kontemporer yang menjadikannya dasar utama untuk menjustifikasi berbagai kebijakan tanpa mempertimbangkan dalil nash yang mungkin menolaknya secara implisit.
Beliau mencontohkan fenomena sebagian pemikir yang melegalkan praktik Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan dalih maslahah ekonomi dan analogi terhadap sistem perbudakan. Menurut beliau, pandangan ini jelas keliru karena bertentangan dengan dalil qath’i dan nilai moral Islam yang menolak perbuatan maksiat atas nama maslahah.
Pandangan Mazhab terhadap Maslahah Mursalah
Secara umum, metode maslahah mursalah dikenal dan banyak digunakan oleh mazhab Malikiyah, karena mereka menilai tidak semua permasalahan dapat ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam nash. Selama maslahah tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariat, maka dapat dijadikan dasar hukum.
Sementara itu, tiga madzhab lainnya yakni Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah tidak secara langsung menggunakan istilah maslahah mursalah, meskipun dalam praktiknya mereka menerapkan prinsip yang sepadan, seperti qiyas (dalam mazhab Syafi’i) dan istihsan (dalam mazhab Hanafi).
Syarat Mengamalkan Maslahah Mursalah
Beliau menutup penjelasannya dengan menyebutkan tiga syarat utama agar maslahah mursalah dapat diamalkan:
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i yang qath’i.
- Berkaitan dengan urusan muamalah, bukan ibadah mahdhah.
- Bertujuan meringankan beban dan menghindarkan kesulitan, sebagaimana firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dan Allah tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
Penutup
Kuliah Takhassus kali ini memberikan pemahaman mendalam tentang hakikat dalil syar’i dan peran maslahah dalam pembentukan hukum Islam.
Melalui penjelasan tersebut, para mahasantri diajak untuk menyeimbangkan antara rasionalitas dan tekstualitas dalam memahami hukum, serta berhati-hati agar tidak menjadikan dalih maslahah sebagai pembenaran terhadap sesuatu yang justru bertentangan dengan syariat.
Editor: A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
Penulis: Wildan Firdaus
(Mahasantri Semester II Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo)
Redaktur
08 Okt 2025
Pada kesempatan kali ini, Syekh Awwamah menguraikan ragam hadis beserta hukum, syarat, dan metodenya
Redaktur
26 Sep 2025
Syekh Awwamah dalam Dauroh ini membahas Hadis Dhaif hingga Maudhu’ secara detail
Raden Muhammad Rifqi
20 Sep 2025
Kumpulan kisah Inspiratif dari Muslimah-Muslimah Hebat
A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
15 Sep 2025
Buku ini membahas keimanan orang tua Nabi Muhammad SAW dan menumbuhkan kecintaan kepada beliau
Raden Muhammad Rifqi
11 Sep 2025
Buku ini mampu membangkitkan rindu dan meneteskan air mata saat menyelami perjalanan hidup Rasulullah
Raden Muhammad Rifqi
08 Sep 2025
Buku tuntunan fikih ini menampilkan referensi dari Al-Kutub Al-Mu‘tabarah karya ulama Mazhab Syafi’i
15 Okt 2025 101 views
Empat mahasantri Ma’had Aly mengikuti ajang International Young Future Leaders Summit (iFUTURE) 2025 di Kuala Lumpur
15 Okt 2025 60 views
Berikut ini resume kajian fikih dan ushul fikih dalam Kuliah Takhassus Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo
08 Okt 2025 164 views
Artikel ini membahas tentang urgensi bermazhab bagi umat Islam
Comments are not available at the moment.