
Adab, Bukan Kultus: Menjawab Framing Negatif terhadap Tradisi Penghormatan di Pesantren
Fenomena kegaduhan yang terjadi belakangan ini memperlihatkan adanya kecenderungan sebagian kalangan untuk menilai dunia pesantren secara sepihak. Ironisnya, mereka yang tidak memiliki waktu untuk mendalami ilmu justru kerap menghujat mereka yang “lupa waktu karena ngaji.”
Padahal, pesantren merupakan institusi pendidikan Islam yang telah berjasa besar dalam membangun moral, spiritual, dan intelektual bangsa. Kendati demikian, ia bukan lembaga yang sempurna, tetapi terus berbenah tanpa henti. Imam Asy-Sya’rani dalam kitabnya mengemukakan:
وَالنَّاظِرُ بِعَيْنٍ وَاحِدَةٍ أَعْوَرُ، فَلَا بُدَّ مِنْ شُهُودِ الْفِعْلِ لِلَّهِ كَامِلًا لِأَنَّهُ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Artinya:“Barangsiapa memandang hanya dengan sebelah mata, maka sama halnya ia dengan orang buta. Maka sudah seharusnya melihat realitas takdir Tuhan secara utuh & sempurna. Sebab Dia-lah yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-Minan Al-Kubra [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah], vol. 1, h. 371)
Artinya, menilai sesuatu hanya dari satu sisi pandang adalah bentuk ketidakadilan intelektual. Termasuk dalam hal ini, ketika media massa menyoroti sisi negatif dunia pesantren tanpa melihat nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Cara pandang seperti ini termasuk logical fallacy jenis hasty generalization, yakni kesalahan berpikir karena menggeneralisasi kasus partikular menjadi kesimpulan umum seperti menyatakan “semua pesantren sama buruknya” hanya karena satu kasus tertentu.
Tradisi Penghormatan terhadap Guru
Salah satu nilai fundamental dalam pesantren ialah penghormatan terhadap guru. Namun, sebagian pihak sering menuduh praktik ini berlebihan dan tidak sesuai dengan ajaran Nabi SAW. Mereka kerap menggunakan hadis riwayat Imam Ahmad sebagai argumentasi larangan berdiri menyambut guru:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَكِّئٌ عَلَى عَصًا فَقُمْنَا إِلَيْهِ فَقَالَ: لَا تَقُومُوا كَمَا تَقُومُ الْأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهَا بَعْضًا
Artinya: “Dari Abu Umāmah berkata: Rasulullah SAW keluar menemui kami dengan bertopang pada tongkat. Kami pun berdiri menyambut beliau. Maka beliau bersabda: “Janganlah kalian berdiri seperti kebiasaan bangsa ‘Ajam, yang saling berdiri karena mengagungkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.” (HR. Ahmad, No. 22181)
Namun, penggunaan hadis ini secara tergesa-gesa tidak dapat dibenarkan dari berbagai aspek. Misalnya jika melihat sisi sanad, para ulama besar seperti Imam Adz-Dzahabi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menilai perawinya majhul (tidak dikenal), bahkan Al-Albani sendiri men-dha’if-kannya. Ibn Hibban juga menegaskan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah karena bertentangan dengan banyak hadis sahih lainnya. (Lihat: Syu‘aib Al-Arna’ūṭ, Ta‘līq ‘alā Musnad [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 56, h. 515)
Sementara itu, dari sisi konteks jika hadis ini tetap digunakan, maka larangan tersebut hanya berlaku untuk berdiri di hadapan orang yang sedang duduk bukan untuk berdiri menyambut atau menghormati sebagaimana keterangan Umar bin ‘Abdul Aziz. (Lihat: Al-Qāḍī ‘Iyāḍ, Ikmāl Al-Mu‘lim bi Fawāʾid Muslim [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 6, h. 105)
Justru, praktik santri yang bersimpuh (Jawa: ndeprok) di hadapan kiai sebagaimana terekam dalam salah satu video framing yang beredar mencerminkan adab tawadhu‘, bukan pengkultusan.
Analisis Hadis tentang Menunduk dan Cium Tangan
Selain itu, mereka juga berargumen bahwa terdapat larangan untuk membungkuk di hadapan guru, dengan mendasarkan pendapatnya pada sebuah hadis berikut:
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا. قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنْ شَاءَ
Artinya: “Seorang Laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami berjumpa dengan sahabatnya, apakah ia boleh membungkuk untuknya? Rasulullah SAW menjawab: Tidak. Ia bertanya lagi: Apakah boleh ia memeluk dan menciumnya? Beliau menjawab: Tidak. Lelaki itu bertanya: Lalu apakah ia boleh berjabat tangan dengannya? Beliau menjawab: Ya, jika ia menghendaki.” (HR. Ahmad, No. 13044)
Hadis ini pun berstatus lemah. Al-Albani menilai kedua jalur sanadnya dha’if jiddan hingga tidak dapat dijadikan landasan hukum. Selain itu, larangan itu hanya berlaku jika tindakan tersebut dimaksudkan sebagai pengagungan yang berlebihan terhadap sesama manusia. (Lihat: Syu‘aib Al-Arna’ūṭ, Ta‘līq ‘alā Musnad [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 56, h. 515)
Kalaupun hadis tersebut tetap dipaksakan sebagai dasar hukum, para ulama menegaskan bahwa larangan tersebut hanya bersifat makruh apabila ditujukan kepada orang biasa, bukan kepada sosok saleh. Adapun bentuk penghormatan terhadap orang saleh seperti menunduk, berdiri, atau mencium tangan hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Bulghah As-Sālik karya As-Showi (4/760) dan An-Najm Al-Wahhāj karya Ad-Damiri (9/303). Hal ini didukung oleh riwayat bahwa Sahabat Ibnu ‘Umar RA ketika berkunjung ke Syam disambut oleh masyarakat dengan cara membungkuk, dan beliau tidak melarang perbuatan tersebut. (Lihat: Ibn Muflih Al-Hanbali, Al-Adab Asy-Syar’iyyah [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 2, h. 260).
Dalam Shahih Bukhari bahkan disebutkan bagaimana para sahabat sangat menghormati Rasulullah SAW hingga menundukkan suara, berebut air wudu beliau, dan tidak berani menatap wajah beliau karena rasa takzim yang mendalam:
ثُمَّ إِنَّ عُرْوَةَ جَعَلَ يَرْمُقُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَيْنَيْهِ، قَالَ: فَوَاللهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ، فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ، وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ، وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وُضُوئِهِ، وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ
Artinya: “Kemudian ‘Urwah menatap para sahabat Nabi SAW dengan penuh takjub: “Demi Allah, tak sekalipun Rasulullah meludah melainkan ludah itu disambut oleh tangan salah seorang di antara mereka, lalu ia usapkan ke wajah dan kulitnya. Bila Rasulullah memerintahkan sesuatu, mereka berebut untuk melaksanakannya. Bila beliau berwudu, mereka hampir saling berebut air bekas wudunya. Bila beliau berbicara, mereka menundukkan suara mereka di hadapannya. Dan tak satu pun dari mereka berani menatap beliau lama-lama saking dalamnya rasa takzim dan hormat yang meliputi hati mereka.” (H.R. Bukhari, No. 2731)
Kita dapat menyaksikan betapa mendalam bentuk tabarruk para Sahabat pada masa itu, disertai penghormatan mereka yang diwujudkan dengan sikap merendah menundukkan pandangan secara lahiriah sekaligus menundukkan hati secara batiniah. Nabi pun tidak melarang praktik tersebut di hadapan beliau.
Apabila keteladanan para Sahabat dan Rasulullah SAW dalam hadis tersebut tidak dianggap sebagai dasar penghormatan murid kepada gurunya, lalu di mana letak fungsi Rasulullah sebagai uswah hasanah (suri teladan)? Siapa lagi yang lebih layak dijadikan contoh dalam relasi antara guru dan murid selain mereka?
Landasan Hadis tentang Sikap Penghormatan
Lebih dari sekadar bentuk lahiriah, esensi penghormatan terletak pada substansinya. Dalam Islam, hubungan antara guru dan murid dibangun di atas prinsip etika dan penghormatan, tanpa menafikan peran nalar dan intelektualitas. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ بَنُو قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدٍ هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ، بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَرِيبًا مِنْهُ، فَجَاءَ عَلَى حِمَارٍ، فَلَمَّا دَنَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
Artinya: “Ketika Bani Qurayzhah menyerahkan diri untuk menerima keputusan Sa‘d bin Mu‘ādz, Rasulullah SAW mengutus seseorang memanggilnya. Saat itu Sa‘d datang menunggang keledai. Maka ketika ia sudah dekat, Rasulullah SAW bersabda: Berdirilah kalian untuk menyambut pemimpin kalian!” (H.R. Bukhari Muslim, No. 3043 & 1768)
Menurut Al-Qāḍī ‘Iyāḍ, dalam penjelasannya terhadap hadis tersebut, penghormatan kepada ahl al-khair (orang-orang saleh) disunahkan untuk diwujudkan melalui berbagai bentuk, di antaranya berdiri menyambut kedatangannya. (Lihat: Al-Qāḍī ‘Iyāḍ, Ikmāl Al-Mu‘lim bi Fawāʾid Muslim [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 6, h. 105) Pendapat ini juga diperkuat oleh Imam An-Nawawī dalam fatwanya. (An-Nawawi, Al-Masail Al-Mantsurah [Beirut: Dar Al-Fikr], h. 155).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis riwayat Al-Bukhārī dan Muslim memberikan dasar yang jelas tentang anjuran menghormati ulama dan orang-orang saleh. Adapun hadis yang sering dijadikan dasar larangan penghormatan justru memiliki kelemahan, baik dari sisi makna maupun sanadnya. Pada akhirnya keputusan berada di tangan pembaca, apakah akan berpegangan hadis sahih atau memilih sebaliknya.
Dimensi Sosial dan Kultural Penghormatan
Sampai disini, dapat dipahami bahwa Nabi SAW secara tegas menanamkan ajaran tentang pentingnya penghormatan. Pertanyaannya kemudian, seperti apa bentuk konkret penghormatan tersebut? Sayyidinā ‘Alī bin Abī Ṭālib RA pernah menyatakan:
هُوَ مُوَافَقَةُ النَّاسِ فِي كُلِّ شَيْءٍ مَا عَدَا الْمَعَاصِي
Artinya: “Etika yang baik adalah menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat dalam segala hal selama tidak mengandung unsur kemaksiatan.” (Nawawi Al-Bantani, Mirqah Shu’ud At-Tashdiq [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah], h. 61)
Oleh karena itu, bentuk penghormatan dapat beragam sesuai konteks budaya dan kebiasaan masyarakat. Prinsipnya, “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Dalam ranah sosial, agama telah menetapkan nilai dan batas moralnya, sementara tradisi berperan dalam menentukan bentuk ekspresinya baik melalui berdiri, menunduk, tersenyum, maupun cara lainnya.
Maksudnya, Rasulullah SAW menegaskan kewajiban menghormati para ulama dan orang-orang saleh, sedangkan bentuknya dapat disesuaikan dengan adat setempat. Namun, sejauh mana kelonggaran itu berlaku? Sampai di titik mana batasnya? Di sinilah sebagian pihak kerap keliru memahami larangan penghormatan dan pujian terhadap Nabi maupun orang-orang saleh, dengan mendasarkan argumennya pada hadis berikut:
لا تُطْرُونِي، كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ، وَرَسُولُهُ
Artinya: “Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya. Maka katakanlah: Hamba Allah dan utusan-Nya.” (H.R. Al-Bukhārī, No. 3445).
Padahal makna hadis tersebut sejatinya sangat jelas. Larangan itu berlaku ketika seseorang memuji makhluk hingga menempatkannya pada derajat ketuhanan perbuatan yang haram bahkan bisa berujung pada kekufuran, sebagaimana yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS. Batasnya tegas, yakni tidak boleh melampaui wilayah ulūhiyyah (ketuhanan).
Justru dari hadis ini tampak adanya keluasan dalam mengekspresikan pujian dan sanjungan, sebagaimana diungkapkan secara indah oleh Imam Al-Būṣīrī dalam Qasidah Burdahnya:
دَعْ مَا ادَّعَتْهُ النَّصَارَى فِي نَبِيِّهِمُ * وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمِ
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang pernah diklaim oleh kaum Nasrani terhadap nabi mereka (yakni menganggapnya sebagai Tuhan), lalu pujilah nabimu sebagaimana engkau kehendaki dan sanjunglah dia seindah yang mampu engkau ucapkan.”
Posisi Ulama sebagai Pewaris Nabi
Penulis meyakini, bahwa tidak ada seorang santri pun yang sampai menuhankan kiainya. Bahkan keyakinan bahwa kiai bersifat ma‘ṣūm atau setara dengan Nabi tidak pernah muncul di lingkungan pesantren. Seandainya pun ada pihak yang melampaui batas hingga berpandangan demikian, tentu saya sendiri akan menentangnya.
Mungkin sebagian orang bertanya, “Bukankah penghormatan seperti itu hanya berlaku kepada Nabi? Apakah kiai pantas disamakan dengan beliau?” Menariknya, Sahabat Ibn ‘Abbās RA ketika berguru kepada Ubay bin Ka‘ab pernah menyatakan:
اَلْعَالِمُ فِي قَوْمِهِ كَالنَّبِيِّ فِي أُمَّتِهِ
Artinya: “Seorang ulama di tengah kaumnya ibarat seorang Nabi di tengah umatnya.” (Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani [Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi], vol. 26, h. 144)
Lagipula, jika dalam hal penghormatan murid kepada gurunya tidak berlandaskan pada keteladanan para Sahabat terhadap Nabi SAW, lalu kepada siapa lagi sikap itu hendak dicontohkan? Bukankah seluruh tindakan Nabi dimaksudkan sebagai pedoman bagi umatnya? Jika bukan untuk diteladani, apa makna dari sikap beliau yang membiarkan bentuk penghormatan tersebut terjadi di hadapan beliau?
Kesimpulan
Tradisi penghormatan terhadap guru di pesantren bukanlah bentuk pengkultusan, melainkan wujud adab dan etika keilmuan yang berakar kuat dalam ajaran Islam. Banyak hadis sahih menganjurkan penghormatan kepada ulama dan orang saleh, sementara hadis yang melarangnya terbukti lemah baik dari sisi sanad maupun konteksnya.
Dalam budaya Indonesia, sikap santri seperti mencium tangan, menunduk, atau bersimpuh di hadapan kiai adalah ekspresi lokal dari penghormatan terhadap ilmu dan pembawanya. Selama tidak melampaui batas-batas syariat, praktik tersebut tetap sejalan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, anggapan bahwa tradisi pesantren sebagai bentuk kemusyrikan merupakan pandangan keliru yang lahir dari penilaian sepihak. Pesantren justru menjadi ruang pembinaan adab, tempat murid belajar rendah hati di hadapan ilmu dan menghormati guru sebagai pewaris para Nabi. Menghormati guru bukan sekadar tradisi, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap ilmu, terhadap Rasulullah SAW sebagai teladan, dan terhadap nilai-nilai luhur Islam.
Maka, sebelum menghakimi hendaknya kita merenungi perkataan Imam Asy-Sya’rani: “Barang siapa memandang sesuatu dengan sebelah mata, maka ia seperti orang buta.” Sudah seharusnya realitas pesantren dilihat dengan pandangan yang utuh melalui pandangan yang adil, berilmu, dan beradab.
Editor: A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
Penulis: Agus Ahmad Mihyal Manutho Muhammad
(Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko Tahun 2024 & Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo)
Ahmad Mihyal Manutho Muhammad
Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko Tahun 2024
Muhammad Afin
19 Okt 2025
Tulisan ini merefleksikan adab penuntut ilmu dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, sebuah telaah tafsir
Redaktur
08 Okt 2025
Artikel ini membahas tentang urgensi bermazhab bagi umat Islam
Fuad Amin
04 Sep 2025
Budaya Maulid Nabi menurut Pandangan Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
Redaktur
19 Agu 2025
Membedakan antara rekonstruksi dan kontekstualisasi hukum Islam
Redaktur
17 Agu 2025
Merenungi makna Sila Kedua Pancasila di Hari Kemerdekaan RI ke-80
Redaktur
12 Agu 2025
Menggali pesan kesetaraan derajat perempuan dan hikmah di balik perbedaannya
08 Nov 2025 85 views
Ribuan mahasantri Marhalah Ula ikuti pengarahan dan sosialisasi penulisan risalah
02 Nov 2025 220 views
Peserta Dauroh Penguatan Ilmu Hadits Aswaja Ma’had Aly Lirboyo ikuti Imtihan Niha’i (ujian akhir) Kitab Taudih Musthalah Al-Hadis
02 Nov 2025 375 views
Mahasantri Semester Dua Ma’had Aly Lirboyo ulas soal kesenjangan gaji guru pada forum Bahtsul Masail
Comments are not available at the moment.