
Etika Keilmuan Qur’ani: Refleksi Nilai Adab Guru-Murid dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
Al-Qur’an bukan hanya berfungsi sebagai kitab hukum (‘ahkām) yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia, tetapi juga menjadi pedoman etika atau adab bagi setiap individu, khususnya bagi penuntut ilmu. Etika dalam mencari ilmu menempati posisi fundamental dalam khazanah pendidikan Islam karena menjadi pondasi bagi terciptanya proses belajar yang beradab dan penuh keberkahan.
Salah satu kisah yang menggambarkan nilai-nilai etika keilmuan secara mendalam terdapat dalam perjumpaan antara Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS. Kisah ini diabadikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
قال له موسى هل أتبعك على أن تعلمن مما علمت رشدا
Artinya: “Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) dari apa yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (Q.S. Al-Kahf: 66)
Ayat di atas secara eksplisit menggambarkan sikap Nabi Musa ketika hendak menimba ilmu dari Nabi Khidir. Ia tidak serta-merta meminta pengajaran, melainkan terlebih dahulu meminta izin untuk mengikuti dan belajar dengan penuh ketawaduan. Tingkah laku ini menjadi teladan penting bagi setiap penuntut ilmu dalam membangun relasi ilmiah dengan gurunya berdasarkan adab dan kerendahan hati.
Adab dan Khidmah dalam Proses Berguru
Para mufassir klasik memberikan perhatian besar terhadap ayat tersebut, di antaranya Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606 H) dalam Mafātīḥ Al-Ghaib, beliau menguraikan secara mendalam bagaimana Nabi Musa menampilkan adab yang luhur sebelum menimba ilmu. Beliau menulis:
فأثبت كونه تبعا له أولا ثم طلب ثانيا أن يعلمه وهذا منه ابتداء بالخدمة ثم في المرتبة الثانية طلب منه التعليم
Artinya:“Nabi Musa terlebih dahulu meminta izin kepada Nabi Khidir untuk menjadi pengikutnya. Lalu meminta agar Nabi Khidir berkenan untuk mengajarkan ilmu kepadanya. Ini berarti, Nabi Musa mengawali dengan khidmah (pelayanan) kepada sang guru, baru kemudian meminta untuk diajarkan ilmu.” (Mafātīḥ Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 21, h. 129)
Langkah tersebut menunjukkan bahwa belajar harus dimulai dengan khidmah (pelayanan). Nabi Musa tidak langsung meminta ilmu, namun terlebih dahulu menawarkan dirinya untuk mengikuti dan membantu sang guru. Pelayanan menjadi bentuk kesiapan spiritual dan intelektual sebelum menerima ilmu. Lebih lanjut, Ar-Razi menambahkan:
فلم يطلب على تلك المتابعة على التعليم شيئا كان قال لا أطلب منك على هذه المتابعة المال والجاه ولا غرض لي إلا طلب العلم
Artinya: “Nabi Musa tidak meminta imbalan apapun atas pelayanannya kepada Nabi Khidir, seakan-akan beliau mengakatan, ‘Saya tidak meminta imbalan apapun atas pelayanan ini, baik harta ataupun kedudukan. Saya hanya ingin menimba ilmu.” (Mafātīḥ Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 21, h. 152)
Artinya, orientasi utama dalam belajar adalah ikhlas semata-mata mencari ilmu bukan keuntungan duniawi. Dalam konteks pendidikan pesantren, khidmah santri kepada guru merupakan pengejawantahan nilai ini yaitu sebuah pengabdian yang melahirkan nilai barokah, bukan sekadar hubungan yang bersifat transaksional.
Sikap Tawadhu’ dan Pengakuan atas Ilmu Sang Guru
Imam Fakhruddin Ar-Razi juga menyoroti kalimat Nabi Musa yang berbunyi “agar Tuan berkenan mengajarkan kepadaku” sebagai bentuk pengakuan atas keilmuan gurunya:
وهذا إقرار له على نفسه بالجهل وعلى أستاذه بالعلم
Artinya: “Ucapan Nabi Musa ini merupakan pengakuan atas kebodohan dirinya sendiri sekaligus pengakuan atas kepintaran gurunya.” (Mafātīḥ Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 21, h. 152)
Lebih lanjut, ucapan Nabi Musa “agar Tuan mengajarkan kepadaku sebagian ilmu yang telah diajarkan (Allah) kepada Tuan” juga menunjukkan sikap kerendahan hati yang luar biasa:
أنه قال: مما علمت وصيغة من للتبعيض فطلب منه تعليم بعض ما علمه الله، وهذا أيضا مشعر بالتواضع كأنه يقول له لا أطلب منك أن تجعلني مساويا في العلم لك، بل أطلب منك أن تعطيني جزأ من أجزاء علمك
Artinya: “Ucapan Nabi Musa: Agar Tuan mengajarkan kepadaku sebagian ilmu yang telah diajarkan (Allah) kepada Tuan. Sangat mencerminkan ketawaduan. Seakan-akan Nabi Musa mengatakan kepada Nabi Khidir, ‘Aku tidak meminta Tuan menjadikan ilmuku setara dengan Tuan, tapi hanya meminta diajarkan sebagian dari banyaknya ilmu yang Tuan miliki.” (Mafātīḥ Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 21, h. 152)
Sikap ini menegaskan bahwa tawadhu’ (kerendahan hati) adalah kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu. Orang berilmu sejati tidak merasa cukup dengan pengetahuannya, melainkan terus mencari bimbingan dari mereka yang lebih berilmu.
Keagungan Ilmu dan Kesempurnaan Adab
Kendati Nabi Musa memiliki kedudukan tinggi sebagai Rasul, beliau tetap menunjukkan adab luar biasa dalam mencari ilmu, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ar-Razi:
ثم إنه عليه السلام مع هذه المناصب الرفيعة والدرجات العالية الشريفة أتى بهذه الأنواع الكثيرة من التواضع وذلك يدل على كونه عليه السلام آتيا في طلب العلم بأعظم أنواع المبالغة وهذا هو اللائق به لأن كل من كانت إحاطته بالعلوم أكثر كان علمه بما فيها من البهجة والسعادة أكثر فكان طلبه لها أشد وكان تعظيمه لأرباب العلم أكمل وأشد
Artinya: “Nabi Musa dengan segala keagungan, ketinggian dan kemuliaannya, sikap-sikapnya sangat mencerminkan ketawaduan. Ini menunjukkan bahwa Nabi Musa dalam menimba ilmu selalu bersikap berlebihan, dan itu sesuai dengan pribadi beliau (sebagian orang yang berilmu). Sebab setiap orang yang banyak menguasai ilmu pasti tahu nilai keberuntungan di balik sebuah ilmu. Sehingga ia sangat bersemangat mencari ilmu dan sikap takzimnya kepada orang-orang yang berilmu sangat sempurna dan berlebihan.” (Mafātīḥ Al-Ghaib [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 21, h. 152)
Menurutnya, semakin tinggi kedudukan seseorang dalam ilmu, maka semakin besar pula rasa hormat dan ketakzimannya terhadap para guru. Hal ini menjadi pelajaran penting bahwa semakin luas ilmu seseorang, semakin dalam pula rasa hormatnya terhadap sumber ilmu.
Penjelasan Imam Al-Baidhawi tentang Etika Keilmuan
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Al-Baidhawi (wafat 685 H) menegaskan inti dari etika keilmuan yang dicontohkan oleh Nabi Musa. Beliau mengungkapkan:
وقد راعى في ذلك غاية التواضع والأدب… واستأذن أن يكون تابعا له، وسأل منه أن يرشده وينعم عليه بتعليم بعض ما أنعم الله عليه
Artinya: “Nabi Musa sangat mengedepankan tawadu dan adab (etika), sampai-sampai menganggap dirinya masih bodoh, meminta izin untuk mengikuti Nabi Khidir serta meminta untuk dibimbing dan diajarkan sebagian ilmu yang telah dianugerahi kepada Nabi Khidir.” (Anwār At-Tanzīl wa Asrār At-Ta’wīl [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiah], vol. 12, h. 129)
Al-Baidhawi menafsirkan perilaku Nabi Musa tersebut sebagai manifestasi dari kesadaran epistemologis seorang penuntut ilmu. Dengan menganggap dirinya masih bodoh dan meminta izin untuk mengikuti serta dibimbing, Nabi Musa mengajarkan bahwa pengakuan atas ketidaktahuan merupakan pintu masuk bagi pengetahuan yang sejati.
Sikap Nabi Musa yang meminta izin kepada Nabi Khidir juga mengandung makna bahwa izin dan kesopanan merupakan prosedur etis dalam menuntut ilmu. Seorang murid tidak berhak mengambil ilmu tanpa kerelaan gurunya, karena keberkahan ilmu terletak pada ridha dan hubungan batin antara guru dan murid. Dengan demikian, Al-Baidhawi menempatkan adab bukan sebagai pelengkap proses belajar, melainkan sebagai prasyarat epistemik bagi keberhasilan pencarian ilmu.
Adab sebagai Pilar Utama dalam Pendidikan
Syekh Mutawalli Asy-Sya‘rawi (wafat 1418 H), seorang mufassir kontemporer asal Mesir yang dikenal dengan pendekatan reflektif dan kontekstual dalam tafsirnya, menegaskan bahwa kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir memiliki dimensi pedagogis yang sangat kuat:
وجاء القرآن بهذه القصة ليعلمنا أدب التعلم
Artinya: “Al-Qur’an menuturkan kisah ini untuk mengajarkan kita adab dalam menuntut ilmu.” (Tafsīr Al-Sya‘rāwī [Mesir: Akhbar Al-Yaum], vol. 7, h. 4458)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa tujuan utama kisah tersebut bukan semata untuk mengisahkan peristiwa, melainkan untuk menanamkan prinsip etika belajar yang menjadi fondasi dalam proses keilmuan Islam. Menurut Asy-Sya‘rawi, hubungan antara guru dan murid dalam kisah ini merupakan simbol relasi spiritual yang diikat oleh penghormatan, kesabaran, dan kerendahan hati unsur yang harus selalu hadir dalam dunia pendidikan.
Nilai adab yang diajarkan Al-Qur’an kemudian diekspresikan dalam berbagai bentuk perilaku kultural di dunia Islam, termasuk dalam tradisi pesantren di Indonesia. Praktik-praktik seperti mencium tangan guru, menundukkan kepala, membungkukkan badan, atau berjalan dengan hormat di hadapan kiai bukanlah bentuk kultus individu, melainkan simbol penghormatan terhadap ilmu dan pemiliknya.
Secara teologis, perilaku tersebut merupakan manifestasi dari adab Qur’ani, yaitu sikap hormat yang lahir dari kesadaran akan posisi guru sebagai pewaris ilmu para nabi (waratsah al-anbiya’). Dalam kerangka syariat, tindakan-tindakan tersebut juga memiliki dasar legitimasi, karena Islam memerintahkan umatnya untuk menghormati orang yang berilmu dan menjunjung tinggi martabat mereka.
Dengan demikian, tradisi penghormatan lahiriah terhadap guru seperti mencium tangan guru, menundukkan kepala, bahkan berjalan penuh hormat saat mendekat merupakan bagian integral dari sistem nilai yang diwahyukan oleh Al-Qur’an. Lebih dari sekadar budaya, tetapi juga perwujudan etika transenden yang menghubungkan murid dengan gurunya dalam bingkai spiritualitas dan keberkahan ilmu.
Khidmah kepada guru, apabila ditinjau melalui paradigma rasional dan kalkulatif masyarakat modern, mungkin tampak sebagai bentuk timbal balik atas ilmu yang telah diberikan oleh seorang pengajar. Namun, sebagaimana makna tersirat dari pernyataan Nabi Musa yang dikutip oleh Fakhruddin Ar-Razi: “Saya tidak meminta imbalan apa pun atas pelayanan ini, baik berupa harta maupun kedudukan, saya hanya ingin menimba ilmu.” Maka khidmah tidak dapat dipahami sebagai bentuk eksploitasi.
Dalam perspektif keilmuan Islam, khidmah justru merupakan manifestasi dari niat tulus untuk memperoleh keberkahan ilmu. Pemahaman ini melampaui logika untung-rugi yang menjadi dasar berpikir masyarakat modern. Bagi seorang santri, pelayanan terhadap guru bukan sekadar balas jasa yang bersifat material, melainkan wujud penghormatan spiritual yang diyakini membuka jalan bagi keberkahan.
Karena itu, menjadi tidak sejalan dengan nilai-nilai Qur’ani apabila ada pihak-pihak yang mendukung narasi merendahkan praktik khidmah santri terhadap guru seperti yang kerap disebarluaskan oleh sebagian media mainstream, sebab hal tersebut berarti mengabaikan esensi etika yang diajarkan oleh Al-Qur’an tentang penghormatan kepada sumber ilmu.
Editor: A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
Penulis: Muhammad Afin
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Lirboyo)
Ahmad Mihyal Manutho Muhammad
19 Okt 2025
Fenomena terbaru menunjukkan penilaian sepihak terhadap pesantren. Artikel ini hadir untuk menjawab tuduhan miring tersebut
Redaktur
08 Okt 2025
Artikel ini membahas tentang urgensi bermazhab bagi umat Islam
Fuad Amin
04 Sep 2025
Budaya Maulid Nabi menurut Pandangan Hadrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
Redaktur
19 Agu 2025
Membedakan antara rekonstruksi dan kontekstualisasi hukum Islam
Redaktur
17 Agu 2025
Merenungi makna Sila Kedua Pancasila di Hari Kemerdekaan RI ke-80
Redaktur
12 Agu 2025
Menggali pesan kesetaraan derajat perempuan dan hikmah di balik perbedaannya
24 Okt 2025 18 views
Di forum dauroh tersebut Syekh Awwamah menguraikan pentingnya sanad dalam transmisi hadis
19 Okt 2025 519 views
Fenomena terbaru menunjukkan penilaian sepihak terhadap pesantren. Artikel ini hadir untuk menjawab tuduhan miring tersebut
19 Okt 2025 297 views
Tulisan ini merefleksikan adab penuntut ilmu dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, sebuah telaah tafsir
Comments are not available at the moment.