
Daurah Ilmiah Ilmu Hadis Aswaja Bersama Syekh Dr. Muhyiddin Awwamah (8): Status Hadis dan Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Pada pertemuan kedelapan Daurah Ilmiah Ilmu Hadis Aswaja, Syekh Dr. Muhyiddin Awwamah kembali menghadirkan penjelasan mendalam mengenai khazanah keilmuan hadis. Dalam kesempatan tersebut, beliau memfokuskan pembahasan pada tema penting yang kerap menjadi perhatian para pengkaji hadis, yakni status hadis serta hukum mengamalkan hadis dha’if.
Penentuan Status Hadis
Menetapkan status hadis dengan predikat shahih, hasan, atau dha’if adalah perkara penting dalam ilmu hadis. Hal ini hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas serta keahlian mendalam dalam bidang musthalah hadis. Imam An-Nawawi menegaskan bahwa tidak ada perbedaan esensial dalam masalah ini, seluruh ulama sepakat bahwa penetapan status hadis merupakan ranah para ahli yang benar-benar mumpuni.
Sejarah mencatat bahwa pada berbagai kurun, para imam hadis telah memberikan status pada hadis (baik shahih, hasan, maupun dha’if) dengan landasan keilmuan yang kokoh. Namun, secara hukum wadh’i, tidak diperkenankan tergesa-gesa dalam menilai status hadis, kecuali dalam dua kondisi:
Pertama, perkaranya sudah jelas. Seperti hadis panjang (ath-thiwal ar-rakikah) yang sering disebut oleh para pencerita.
Kedua, hadis yang jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat atau menyelisihi ijma’ (konsensus) ulama.
Selain itu, ketika menetapkan status hadis, perlu pula dijelaskan apakah hadis tersebut termasuk gharib (diriwayatkan satu rawi) atau ‘aziz (diriwayatkan dua rawi). Hal ini penting karena meneliti sanad secara menyeluruh bukanlah perkara mudah.
Faidah Penting
Pernyataan ulama yang berbunyi: “Hadis paling shahih dalam bab ini adalah demikian…” tidak otomatis berarti hadis tersebut benar-benar shahih. Terkadang, meskipun mereka menyebutnya paling shahih, hadis tersebut tetap berstatus dha’if. Maksud dari ucapan tersebut adalah bahwa hadis itu merupakan riwayat yang paling unggul di antara riwayat lain, meskipun tetap ada yang menilainya dha’if.
Hadis Dha’if
Definisi
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria qabul (diterima) sebagaimana yang disyaratkan dalam hadis shahih dan hasan. Adapun syarat qabul itu meliputi:
- Sanad bersambung dari awal hingga akhir.
- Perawi memiliki sifat adil.
- Perawi memiliki sifat dhabth (hafalan atau catatan yang kuat).
- Tidak terdapat syadz (kejanggalan dalam riwayat).
- Tidak ada ‘illat yang merusak.
- Adanya penguat (‘adhid), baik berupa mutabi’ atau syahid.
Macam-Macam Hadis Dha’if
Hadis dha’if terbagi sesuai syarat qabul mana yang tidak terpenuhi:
Keterputusan Sanad
- Dari awal sanad: mu’allaq.
- Dari akhir sanad: mursal.
- Terputus di tengah sanad:
Satu rawi tidak ada → munqathi’.
Banyak rawi berturut-turut hilang → mu’dhal.
- Termasuk: mudallas, mu’an’an, dan muannan jika terbukti sanadnya terputus.
Sifat Adil Perawi Tidak Terpenuhi
- Tidak diketahui masanya → majhul al-‘ain.
- Tidak diketahui keadilannya → majhul al-hal.
- Disebut samar → mubham.
- Rawi fasiq atau pendusta → matruk.
Sifat Dhabith Perawi Tidak Terpenuhi
- Sering lupa atau fasiq → munkar.
- Tidak konsisten dalam riwayat → mudhtharib.
Syadz
Jika riwayat bertentangan dengan yang lebih kuat → syadz.
Adanya ‘Illat
Jika terdapat cacat tersembunyi yang berpengaruh → mu’allal.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Para ulama sepakat bahwa hadis dha’if tergolong mardud (ditolak). Adapun pembagiannya ada dua:
Pertama, tidak boleh dijadikan hujjah dan tidak boleh diamalkan sama sekali → hadis maudhu’.
Kedua, tidak boleh dijadikan hujjah, namun masih boleh diamalkan → hadis dha’if.
Sejak masa Imam Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H) hingga Imam Asy-Syaukani (wafat 1250 H), para ulama memperbolehkan mengamalkan hadis dha’if. Bahkan, banyak yang berpendapat hukumnya sunah.
Namun, penggunaannya terbatas pada aspek fadhail al-a’mal (keutamaan amal), bukan pada masalah akidah. Sebab, akidah hanya bisa ditegakkan dengan hadis mutawatir. Adapun fadhail al-a’mal mencakup hukum selain wajib dan haram, seperti sunah, mubah, dan makruh.
Kesimpulan
Menetapkan status hadis adalah wewenang para ulama ahli hadis, dengan kehati-hatian dan metode ilmiah yang ketat. Hadis dha’if tidak bisa dijadikan dasar hukum akidah, namun dapat diamalkan dalam ranah keutamaan amal dengan syarat-syarat tertentu. Dengan demikian, pembahasan hadis ini menjadi bukti betapa teliti dan hati-hatinya para ulama dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Editor: A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
Penulis: Muhammad Rozaqi
(Mahasantri Semester III Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo)
Redaktur
08 Okt 2025
Pada kesempatan kali ini, Syekh Awwamah menguraikan ragam hadis beserta hukum, syarat, dan metodenya
Redaktur
26 Sep 2025
Syekh Awwamah dalam Dauroh ini membahas Hadis Dhaif hingga Maudhu’ secara detail
Raden Muhammad Rifqi
20 Sep 2025
Kumpulan kisah Inspiratif dari Muslimah-Muslimah Hebat
A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
15 Sep 2025
Buku ini membahas keimanan orang tua Nabi Muhammad SAW dan menumbuhkan kecintaan kepada beliau
Raden Muhammad Rifqi
11 Sep 2025
Buku ini mampu membangkitkan rindu dan meneteskan air mata saat menyelami perjalanan hidup Rasulullah
Raden Muhammad Rifqi
08 Sep 2025
Buku tuntunan fikih ini menampilkan referensi dari Al-Kutub Al-Mu‘tabarah karya ulama Mazhab Syafi’i
08 Okt 2025 159 views
Artikel ini membahas tentang urgensi bermazhab bagi umat Islam
08 Okt 2025 84 views
Pada kesempatan kali ini, Syekh Awwamah menguraikan ragam hadis beserta hukum, syarat, dan metodenya
07 Okt 2025 93 views
Berikut ini testimoni peserta munaqasyah risalah Marhalah Ula Ma’had Aly Lirboyo
Comments are not available at the moment.