
Biografi Kiai Abdul Karim (2): Jejak Perjuangan dan Keteladanan Sang Muassis Pondok Pesantren Lirboyo
Sebidang Tanah dan Cikal Bakal Pondok Lirboyo
Melihat kondisi menantunya demikian, Kiai Sholeh lantas berkeinginan untuk membeli sebidang tanah di Lirboyo dan memberikannya kepada Kiai Manab. Proses pembelian tanah tersebut berjalan lancar, karena saat itu Lirboyo dikenal sebagai daerah yang angker dan tidak aman. Lurah Lirboyo, yang tidak lagi mampu menenangkan warganya itu lalu meminta bantuan Kiai Sholeh untuk menempatkan menantunya di sana agar masyarakat yang kekurangan bimbingan spiritual dapat tersadarkan.
Kiai Manab pun kemudian menetap di Lirboyo. Dari titik itu, Kiai Manab memulai segalanya dari awal. Pada awal kedatangannya di Lirboyo, beliau sering mengalami teror yang bertujuan untuk membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, dengan ketabahannya Kiai Manab secara perlahan berhasil menyadarkan penduduk setempat. Beliau kemudian mulai membangun sarana tempat ibadah, yaitu sebuah musholla yang dikenal dengan sebutan langgar angkring, lalu tiga tahun kemudian didirikanlah sebuah masjid yang dikenal dengan masjid lawang songo pada tahun 1913.
Dengan adanya masjid tersebut, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin terlihat. Masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pengajian. Lambat laun, banyak masyarakat yang kemudian berguru kepadanya, termasuk seorang santri dari Madiun bernama Umar. Santri pertama ini kemudian menjadi cikal bakal Pondok Pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh Kiai Manab.
Dengan tekun, rajin, dan tabah, Kiai Manab mengembangkan pesantren tersebut. Dalam satu dekade, banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin meningkat, datang dari berbagai daerah. Untuk itu, ia merelakan sebagian tanahnya agar dapat dihuni oleh santri. Inilah sifat Kiai Manab, seorang pemimpin sejati yang mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadinya.
Menunaikan Ibadah Haji
Kendati demikian, perjalanan Kiai Manab dirasa belum lengkap jika belum menunaikan rukun Islam yang kelima. Hal ini masih menjadi beban dalam pikirannya. Setelah memenuhi kebutuhan para santri, beliau berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji. Awalnya, ia berniat untuk menjual tanahnya guna membiayai perjalanan haji tersebut, tetapi sebelum tanah itu terjual, kabar tentang keberangkatannya sudah tersebar.
Banyak penduduk yang ingin mengucapkan selamat dan memberikan tambahan bekal. Anehnya, dari sumbangan tersebut terkumpul uang yang cukup untuk melaksanakan ibadah haji tanpa perlu menjual tanah. Akhirnya, Kiai Manab berangkat ke tanah suci, dan setibanya di kampung halaman, beliau mengganti namanya menjadi KH Abdul Karim.
Kontribusi Terhadap Perjuangan Kemerdekaan
Suatu ketika, Belanda pernah menyerang pesantren namun Kiai Manab tetap tenang dan tidak merasa takut atau gentar sedikit pun. Meski demikian, selama masa penjajahan Belanda, Kiai Manab tidak hanya berdiam diri. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), ia bersama para ulama dipanggil ke Jakarta untuk membentuk Shumubu, Jawatan Agama Pusat yang kemudian dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai yang lahir di Magelang ini juga turut melatih dan memberikan doa restu kepada barisan laskar Sabilillah dan Hizbullah. Ia mengirimkan santrinya untuk berperang di medan tempur, dua kali ke Surabaya dengan jumlah santri mencapai 97 dan 74 orang, serta sekali ke Sidoarjo dengan total 309 santri. Ia juga terlibat dalam proses pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri. Dengan demikian, Kiai Manab turut berperan aktif dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sumber Keteladanan dalam Segala Aspek
Ketawadhuan KH Abdul Karim terlihat dalam kesehariannya. Suatu ketika, terdapat seorang santri datang ke Pondok Pesantren Lirboyo untuk belajar kepada beliau. Saat turun dari kendaraan dan bertemu Kiai Abdul Karim, yang tidak terlihat seperti seorang kiai, santri tersebut tanpa ragu meminta bantuan untuk membawakan kopernya ke kamar. Anehnya, beliau tidak menolak, malah diam dan langsung mengangkat barang bawaan santri itu.
Ketika santri itu memasuki pesantren diikuti oleh KH Abdul Karim yang membawa kopernya, banyak santri Lirboyo yang terkejut, bahkan ada yang lari karena ketakutan. Namun, santri baru tersebut tetap tenang. Beberapa hari kemudian, saat mengikuti shalat berjamaah santri itu baru menyadari bahwa orang yang membawakan kopernya adalah sosok Kiai Abdul Karim, yang menjadi imam.
Tentu saja, santri itu terkejut bukan kepalang, dan entah karena saking malunya atau tidak tahan ia pulang ke kampung halaman tanpa berpamitan. Kisah ini merupakan salah satu contoh kerendahan hati Kiai Abdul Karim. Ia dikenal sangat sabar, jauh dari sifat marah, dan sopan dalam berbicara. Dalam menasihati orang lain, ia lebih mengutamakan tindakan daripada kata-kata.
Kiai Manab berasal dari keluarga biasa yang berjuang dan tekun belajar hingga akhirnya menjadi seorang kiai yang alim. Kiai Abdul Karim juga termasuk orang yang zuhud, hal ini terlihat dari kekaguman KH M. Hasyim Asy’ari saat bertemu di Surabaya saat mereka hendak menunaikan ibadah haji. Kiai Hasyim merasa heran karena Kiai Abdul Karim, yang tampak biasa dalam hal duniawi, mampu melaksanakan haji. Ketika ditanya berapa uang yang dibawa, Kiai Abdul Karim hanya menjawab singkat: “Mboten ngertos.” (Jawa: Tidak tahu). Kiai Hasyim kemudian meminta Kiai Abdul Karim untuk menghitung uangnya, dan ternyata jumlahnya lebih dari cukup untuk menunaikan ibadah haji.
Sisi lain kehidupan KH Abdul Karim yang patut dicontoh adalah kebiasaannya dalam menjalankan riyadhah, yaitu mengolah jiwa (tirakat). Kebiasaan ini tidak pernah ditinggalkannya, semenjak menuntut ilmu di Pondok Pesantren hingga berkeluarga dan menjadi figur kiai yang memimpin pesantren. Ia kerap menghidupkan sholat malam, jarang tidur, dan jika tidur hanya sebentar saja. Ia banyak menghabiskan malamnya dengan dzikir, bermunajat kepada Allah, membaca Al-Qur’an, dan mempelajari kitab. Kebiasaan ini sudah tidak asing lagi di kalangan santri.
KH Abdul Karim juga dikenal sebagai sosok kiai yang lemah lembut, dalam berbicara kepada siapapun beliau kerap menggunakan bahasa krama inggil (bahasa Jawa halus yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat). Terbukti ketika menyadarkan santri, beliau memilih untuk menasihati melalui tindakan dan kadang-kadang dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dinding pesantren.
Dengan kata lain, beliau lebih memilih cara menasihati tanpa ada unsur paksaan, apalagi sampai melukai hati. Selain itu, KH Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqamah dan disiplin dalam beribadah. Hal ini terbukti ketika beliau sakit, ia tetap konsisten memberikan pengajian dan memimpin shalat berjamaah, meskipun harus berjalan tertatih-tatih dibantu oleh para santrinya.
Akhir Hayat
Sekitar tahun 1950-an, usia KH Abdul Karim sudah mendekati satu abad. Setelah menyelesaikan ibadah haji yang kedua, beliau mulai menunjukkan tanda-tanda kesehatan yang menurun. Beberapa waktu kemudian, beliau mengalami sakit yang berkepanjangan. Namun, kondisi kesehatannya semakin memburuk, sehingga saraf di salah satu kakinya tidak berfungsi lagi, yang mengakibatkan beliau mengalami kelumpuhan.
Kelumpuhan tersebut dialaminya cukup lama, hampir satu setengah tahun. Saat memasuki bulan suci Ramadan, seminggu kemudian kondisi Kesehatan KH Abdul Karim semakin kritis, sehingga ia tidak lagi mampu memberikan pengajian dan memimpin shalat berjamaah. Bertepatan dengan hari Senin, tanggal 21 Ramadan 1373 H/24 Mei 1954 H. Kiai Abdul Karim wafat. Beliau selanjutnya dikebumikan di belakang masjid lawang songo, tepatnya di area maqbaroh kasepuhan Pondok Pesantren Lirboyo.
Kisah perjalanan hidup KH Abdul Karim sarat dengan nilai-nilai keteladanan terbukti dari perjuangan dan dedikasi beliau dalam menuntut ilmu serta memberikan kontribusi kepada masyarakat. Meskipun menghadapi banyak rintangan, beliau tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip keagamaan dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam perjalanan hidupnya, beliau menunjukkan bahwa ketekunan dan keikhlasan adalah kunci untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Saat ini, berkat tirakat, ketekunan, kesabaran, dan istiqamah beliau, Lirboyo telah menjadi salah satu pesantren terbesar di Indonesia, dengan puluhan ribu santri yang datang dari berbagai penjuru daerah, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk beliau, Al-Fatihah.
Sumber:
Tim Sejarah BPK P2L Pondok Pesantren Lirboyo, 3 Tokoh Lirboyo (Kediri: Lirboyo Press).
KH Abdullah Kafabihi Mahrus, Wawancara Eksklusif NU Online. Joglo Mudal Wonosobo, 9 Januari 2021. https://www.youtube.com/watch?v=tgMT3CfYS3o&t=13s.
A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari
20 Mar 2025
Di balik kebesaran Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, tentu saja terdapat peran penting dari para pendahulunya. Salah satunya adalah KH Abdul Karim, sang pendiri (muassis) Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Ma'had Aly Lirboyo
17 Mar 2025
Seringkali kita menemukan orang yang menafsirkan Al-Qur’an hanya dengan mencomot suatu pendapat tanpa mengetahui latar belakang dan metodenya. Berikut Penjelasannya
18 Mar 2025 690 views
Kegiatan Safari Ramadhan merupakan wujud pengabdian yang luar biasa dari mahasantri Ma’had Aly Lirboyo dalam rangka menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin
17 Mar 2025 440 views
Mahasantri Beasiswa Cendekia Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Ma’had Aly Lirboyo mengadakan buka bersama dengan Yayasan Yatim Dhuafa Sahhala Mojoroto, Kediri.
26 Mar 2025 365 views
AT-TAHBIR: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Bidang Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah (BP2KI) Ma’had Aly Lirboyo.

Comments are not available at the moment.