
Hasil Keputusan Bahtsul Masa`il “Foedalisme Pesantren”: Bahtsul Masa’il Perdana Ma’had Aly Lirboyo Semester V-VI
FEODALISME PESANTREN:
Telaah Kritis Terhadap Fenomena Pengkultusan Tokoh di Ranah Sosial-Budaya Keagamaan
Senin malam Selasa, 05 Muharram 1447 H./30 Juni 2025 M.
Deskripsi masalah:
Pesantren, atau biasa disebut pondok pesantren, merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah lama berdiri di Indonesia. Keberadaan pesantren tidak bisa dipisahkan dari Islam di Indonesia. Awal mula berdirinya pesantren beriringan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Bahkan, sejarah mencatat bahwa keberadaan pesantren sangat lekat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia.
Suatu lembaga atau institusi dapat disebut pesantren jika memenuhi tiga unsur, yaitu: kiai, santri, dan lokasi (pesantren). Dalam artian, pesantren merupakan lembaga yang dipimpin oleh seseorang yang biasa disebut kiai, ajengan, gurutta, atau gelar lainnya, yang memiliki kecakapan dan kapasitas dalam keilmuan agama, serta fokus memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang yang berada di dalam pesantren, yang biasa disebut santri, dengan berlandaskan pada Al-Qur’an, hadis, dan kitab kuning. Meski demikian, pesantren tidak hanya fokus pada pendidikan agama semata, tetapi juga memberikan pendidikan sosial, ekonomi, pertanian, dan lain sebagainya. Sebab, moto yang dibangun pesantren adalah memberdayakan santri agar menjadi manusia yang bermanfaat.
Namun demikian, romantisme sejarah kerap kali menutupi kenyataan bahwa tidak ada sistem yang sempurna. Setiap tradisi, betapapun kuat pijakan historisnya, tetap perlu dikaji secara kritis agar tidak menimbulkan kepongahan atas nama masa lalu.
Salah satu elemen yang menjadi sorotan tajam dalam dinamika pesantren adalah posisi kiai sebagai figur sentral, yang secara kultural ditempatkan dalam puncak otoritas yang nyaris tak tergapai oleh kritik. Menurut Martin van Bruinessen (1995) dan Karel A. Steenbrink (1986), fenomena ini menghadirkan atmosfer yang tidak jauh berbeda dari watak feodal, sehingga pemikiran kritis tenggelam dalam gelombang kepatuhan yang tidak selalu dilandasi oleh nalar dan pemahaman mendalam. Karena itu, pesantren dianggap sebagai bentuk feodalisme baru di era modern, atau yang masyhur dikenal dengan istilah Neo-Feodalisme. (Martin van Bruinessen – Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Mizan, 1995) & Karel A. Steenbrink – Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (LP3ES, 1986))
Secara umum, feodalisme adalah sistem kekuasaan yang bersifat hierarkis, tertutup, dan sangat menekankan loyalitas personal antara atasan dan bawahan, di mana kekuasaan dan hak istimewa didistribusikan secara tidak merata.
Feodalisme lama didasarkan pada tiga prinsip utama:
- Kekuasaan: Sistem ini berfokus pada penguasaan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan segala aspek kehidupan. Kekuasaan bersifat sentral pada satu pemimpin.
- Kekerabatan: Kekuasaan dalam feodalisme hanya berkutat pada kelompok tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan.
- Pengkultusan: Pemimpin feodal selalu dikultuskan. Mereka tidak hanya dihormati dan dipuja secara berlebihan, bahkan kerap kali dikaitkan dengan hal-hal mitologis.
Istilah pesantren sebagai neo-feodalisme merujuk pada pandangan kritis terhadap relasi kuasa dalam lingkungan pesantren yang dianggap mereproduksi struktur sosial serupa feodalisme lama, yakni sistem sosial yang sangat hierarkis dan otoriter, namun dalam wajah baru (neo) di era modern. Narasi ini tidak hanya muncul dari relasi kuasa, melainkan juga diperkuat oleh beberapa praktik atau tradisi yang telah mengakar kuat. Tradisi mencium tangan, menunduk, atau membungkukkan badan di hadapan seorang kiai, serta meyakini keberkahan sisa air minum atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kiai, disinyalir sebagai tradisi turunan dari neo-feodalisme.
Relasi kuasa yang hierarkis telah membentuk pandangan bahwa kiai adalah figur utama yang tidak bisa digoyahkan dalam segala hal. Titah dan kehendaknya mutlak harus dipatuhi tanpa mempertanyakan kebenarannya. Hanya kata “sam’an wa tha’atan” yang berlaku dalam benak santri.
Pergeseran otoritas dari ilmu menuju pengkultusan buta tidak hanya menimbulkan penyelewengan dalam struktur nilai pesantren, tetapi juga mengancam integritas moralnya sebagai lembaga yang menjunjung tinggi ilmu dan akhlak sebagai pilar utama. Fenomena ini bukan tanpa dampak. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat diguncang oleh kasus “Gus Nakal“, yakni anak kiai atau tokoh pesantren yang terlibat skandal moral, manipulasi keagamaan, bahkan pelecehan seksual. Ironisnya, kasus-kasus ini sering kali ditutupi oleh jaringan loyalitas internal pesantren dan masyarakat sekitar, yang lebih memilih “menjaga marwah kiai”.
Lebih jauh, pengkultusan ini tidak hanya berdampak pada relasi antara kiai dan santri, tetapi juga menjalar ke masyarakat luas di sekitar lingkungan pesantren, khususnya para muhibbin pesantren dan kiai. Masyarakat sering kali menjadikan kiai sebagai referensi tunggal dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari urusan agama hingga politik. Banyak warga hanya mengikuti fatwa politik kiai tanpa memahami fakta yang sebenarnya. Hal ini melahirkan budaya “ikut-ikutan” yang rentan dimanipulasi oleh elite.
Dalam struktur sosial semacam itu, aroma feodalisme menjadi tak terhindarkan. Kiai bukan hanya menjadi pemimpin spiritual, melainkan juga pusat loyalitas dan kekuasaan simbolik. Ketundukan yang terjadi sering kali bukan karena keunggulan nalar dan kebijaksanaan, tetapi semata karena warisan status dan garis keturunan. Sistem semacam ini menciptakan hierarki sosial yang kaku, di mana kritik dianggap sebagai pemberontakan, dan keberanian berpikir mandiri kerap dibungkam oleh stigma durhaka terhadap guru.
Pertanyaan:
- Apakah pengkultusan terhadap tokoh atau kiai sebagaimana dalam deskripsi, yang dianggap bisa menutup ruang kritik dan diskusi, dapat dibenarkan menurut kacamata syariat?
Jawaban:
Relasi antara murid dan guru dalam khazanah Islam telah diatur sedemikian rupa dengan prinsip sebagaimana berikut:
- Meyakini keunggulan dan keutamaan guru dalam keilmuan;
- Menjaga kehormatan dan marwah guru;
- Menghindari segala bentuk ucapan atau tindakan yang dapat menyakiti hati guru;
- Menumbuhkan rasa mahabbah (cinta) yang tulus kepada guru.
Kendati demikian, dalam ranah kajian ilmiah, ruang dialog dan diskusi tetap terbuka, selama dilakukan dengan menjunjung tinggi adab dan etika.
Catatan penting:
Dalam menghormati guru, seorang murid hendaknya bersikap proporsional artinya tidak berlebihan dan tidak mengkultuskan.
Referensi:
المجموع شرح المهذب (١/ 36)
وينبغي أن ينظر معلمه بعين الاحترام ويعتقد كمال أهليته ورجحانه على اكثر طبقته فهو أقرب إلى انتفائه به ورسوخ ما سمعه منه في ذهنه -الى ان قال- ومن آداب المتعلم ان يتحرى رضى المعلم وإن خالف رأي نفسه ولا يغتاب عنده ولا يفشي له سرا: وأن يرد غيبته إذا سمعها فإن عجز فارق ذلك المجلس
أداب العالم والمتعلم لحضرة الشيخ هاشم أشعري صـ 30 (مكتبة التراث الإسلامي – تبوإيريغ – 1415 هـ)
والرابع أن ينظر إليه بعين الإجلال والتعظيم ويعتقد فيه درجة الكمال. فإن ذلك أقرب إلى نفعه به. قال أبو يوسف: سمعت السلف يقولون: من لا يعتقد جلالة أستاذه لا يفلح. فلا يخاطب شيخه بتاء الخطاب وكافه، ولا يناديه باسمه، بل يقول يا سيدي أو يا أستاذي، ولا يذكره أيضا في غيبته باسمه إلا مقرونا بما يشعر بتعظيمه كقوله قال الشيخ الأستاذ كذا أو قال شيخنا أو نحو ذلك.
تذكرة السامع والمتكلم في أدب العالم والمتعلم (ص91) محمد بن إبراهيم بن سعد الله بن جماعة الكناني الحموي الشافعيّ (المتوفى: ٧٣٣ هـ)
الخامس: أن يصبر على جفوة تصدر من شيخه أو سوء خلق ولا يصده ذلك عن ملازمته وحسن عقيدته، ويتأول أفعاله التي يظهر أن الصواب خلافها على أحسن تأويل، ويبدأ هو عند جفوة الشيخ بالاعتذار والتوبة مما وقع والاستغفار، وينسب الموجب إليه ويجعل العَتْبَ عليه فإن ذلك أبقى لمودة شيخه واحفظ لقلبه وأنفع للطالب في دنياه وآخرته. وعن بعض السلف: من لم يصبر على ذل التعليم بقي عمره في عماية الجهالة، ومن صبر عليه آل أمره إلى عز الدنيا والآخرة.
الفتوحات الربانية على الأذكار النواوية» (6/ 287):
اعلم أنه يُستحبّ للتابع إذا رأى من شيخه وغيره ممّن يُقتدى به شيئاً في ظاهره مخالفة للمعروف أن يسأله عنه بنيّة الاسترشاد، فإن كان قد فعلَه ناسياً تداركَه، وإن كان فعلَه عامِداً وهو صحيحٌ في نفس الأمر، بَيّنه له
باب ما يقوله التابع للمتبوع إذا فعل أي المتبوع (ذلك) أي ما ظاهره غير صواب وهو صواب في نفس الأمر (أو نحوه) أي ما ظاهره مكروه أو خلاف الأولى وليس كذلك في نفس الأمر وهذا على سبيل التذكير واستبانة الأمر لا على وجه الاعتراض وامتحان نحو الأستاذ فإنه قبيح. قوله: (في ظاهره مخالفة للمعروف) أي بأن يكون ظاهره محرما أو مكروها وليس كذلك في الحقيقة. قوله: (بنية الاسترشاد) أي بأن يرشده الأستاذ لبيان ما خفى عليه وجهه. قوله: (فإن كان قد فعله ناسيا الخ) ووجه الإرشاد في هذه الأعلام أن ما فعله الأستاذ ليس من المشروع حتى يقتدي به فيه الطالب بل إنما صدر على سبيل النسيان الذي لا يكاد يخلو منه إنسان. قوله: (بينه وله) أي بين له ما ذكر من صحة العبادة في نفس الأمر وذلك ببيان الدليل إن كان ذلك الحكم للعموم أو بيان وجه الرخصة إن كان لعذر به دعاه لذلك.
«البحر المديد في تفسير القرآن المجيد» (٣/ 290): أبو العباس أحمد بن محمد بن المهدي بن عجيبة الحسني الأنجري الفاسي الصوفي (المتوفى: ١٢٢٤هـ)
«فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْئَلْنِي عَنْ شَيْءٍ تشاهده من أفعالي، فهمْتَه أم لا، أي: لا تفاتحني بالسؤال عن حكمته، فضلاً عن مناقشته واعتراضه، حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً حتى أبتدي بيانه لك وحكمته، وفيه إيذان بأن ما يصدر منه له حكمة خفية، وعاقبة صالحة. وهذا من أدب المتعلم مع العالم، والتابع مع المتبوع، أنه لا يعترض على شيخه بل يسأل مُسترشدًا بملاطفةٍ وأدب، وهذا في العلم الظاهر.
وسيأتي في الإشارة ما يتعلق بعلم الباطن.
«الإشارة: قد أخذ الصوفية- رضى الله عنهم- آداب المريد مع الشيخ من قضية الخضر مع موسى- عليهما السلام- فطريقتهم مبنية على السكوت والتسليم، حتى لو قال لشيخه: لِمَ؟ لَمْ يفلح أبدًا، سواء رأى من شيخه منكرًا أو غيره، ولعله اختبار له في صدقه، أو اطلع على باطن الأمر فيه، فأحوالهم خضرية، فالمريد الصادق يُسلم لشيخه في كل ما يرى، ويمتثل أمره في كل شيء، فَهِم وجه الشريعة فيه أم لا، هذا في علم الباطن، وأما علم الظاهر فمبني على البحث والتفتيش، مع ملاطفة وتعظيم.
تعليم المتعلم صـ: 17
(والحاصل أنه يطلب رضاه) أي رضا الاستاذ (ويجتنب سخطه) اي من سخطه (ويمثتل أمره في غير معصية الله تعالى ولا طاعة للمخلوق) اي ولا طاعة جائز للمخلوق (في معصية الخالق) اي في مادة يلزم ان أطاع للمخلوق أن يعصي الخالق وهذه الخملة بمنزلة التعليل لما سبق.
سير أعلام النبلاء (١٧/٢٥١): شمس الدين الذهبي (ت ٧٤٨)
فقال: من قال لأستاذه لم؟ لا يفلح أبدا.(1) قلت: ينبغي للمريد أن لا يقول لأستاذه: لم، إذا علمه معصوما لا يجوز عليه الخطأ، أما إذا كان الشيخ غير معصوم وكره قول: لم؟ فإنه لا يفلح أبدا، قال الله – تعالى -: ﴿وتعاونوا على البر والتقوى﴾ [المائدة:٢]، وقال: ﴿وتواصوا بالحق﴾ [العصر:٣]،: ﴿وتواصوا بالمرحمة﴾ [البلد:١٧] بلى هنا مريدون أثقال أنكاد، يعترضون ولا يقتدون، ويقولون ولا يعملون، فهؤلاء لا يفلحون.
(1) أورد الخبر السبكي في «طبقاته الكبرى» ٤ / ١٤٦، ١٤٧، وقد تشبث كثير ممن ينتسب إلى العلم بهذه المقالة، ورددها على لسانه أمام تلامذته، وكان من أثر ذلك أن اعتقد التلامذة العصمة في كل ما يقوله هذا الشيخ من آراء، وبقوا في التقليد الاعمى يتخبطون، وتبلدت أذهانهم، وضعفت مداركهم، حتى إنهم يظهر لهم بوضوح وجلاء أشياء كثيرة قد أخطأ فيها الشيخ، ولكنهم لا يتجزؤون على مخالفته لتلك المقالة السيئة.
Editor: Syauqi Multazam
Kontributor: Pengurus Bahtsul Masa’il Ma’had Aly Lirboyo Semester V
Redaktur
19 Agu 2025
Membedakan antara rekonstruksi dan kontekstualisasi hukum Islam
Redaktur
17 Agu 2025
Merenungi makna Sila Kedua Pancasila di Hari Kemerdekaan RI ke-80
Redaktur
12 Agu 2025
Menggali pesan kesetaraan derajat perempuan dan hikmah di balik perbedaannya
Redaktur
07 Jul 2025
Bahtsul Masail mahasantri semester lima menelaah fenomena pengkultusan tokoh di ranah sosial-budaya keagamaan
Redaktur
11 Jun 2025
الشيخ عوض الكريم عثمان العقلي أمين الأمانة العلمية بالمجمع الصوفي السودان يوضح حول حب الوطن من منظور كتب التراث
Redaktur
10 Jun 2025
Cinta tanah air memiliki landasan syariat yang kuat, berikut penjelasannya
03 Sep 2025 8 views
Ibarat dan Referensi Hasil Bahtsul Masail tentang Feodalisme Pesantren
28 Agu 2025 73 views
Syekh Muhyiddin Awwamah membahas Hadis Hasan: definisi, macam, dan kedudukannya
27 Agu 2025 113 views
Dalam dauroh itu, beliau menekankan pembahasan tentang status hadis dan hukum mengamalkan hadis dha’if

Comments are not available at the moment.