
KH. Asep Jaelani Lc., M.A. Bagikan Kiat-Kiat Agar Produktif dalam Menulis Kitab
Di sela-sela acara Dauroh Ta’lif Al-Kutub yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Lirboyo selama empat hari, mulai tanggal 31 Mei hingga 3 Juni 2025, Tim Redaksi mahadalylirboyo.ac.id berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan KH. Asep Jaelani Lc., M.A., sebagai tutor sekaligus pengarang kitab Riyadhah Al-Uqul Ala Ghayah Al-Wushul.
Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2025 usai Isya di Gedung Perpustakaan Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L) dalam suasana santai dan akrab. Dalam percakapan tersebut, Kiai Asep membagikan kisah inspiratif tentang proses penulisannya, pengalaman selama mondok di Lirboyo (Lulus Aliyah MHM, Tahun 2002), serta memberikan berbagai kiat produktif menulis kitab. Berikut hasil transkrip wawancaranya:
Redaksi (Red.): Sejak kapan Kiai mulai aktif dalam menulis kitab?
Kiai Asep (KA): “Bisa dibilang, saya mulai aktif menulis ketika menginjak semester tiga di Universitas Al-Ahgaff Yaman. Pada saat itu –sekitar tahun 2005– banyak teman-teman asrama yang membutuhkan kitab Ghayah Al-Wushul untuk belajar. Di tahun-tahun itu, kitab Ghayah Al-Wushul sangat sulit dicari.
Akhirnya, saya coba-coba untuk menulis mukadimah kitab tersebut. Diketik, diharokati sambil memberi tambahan catatan dan keterangan. Lalu kitab tersebut diprint, difotokopi lalu dijual ke teman-teman. Ternyata, responsnya luar biasa.
Dari situlah, saya kemudian mulai terdorong untuk meneruskan bab-bab selanjutnya sampai khatam. Hingga akhirnya, selesailah syarah kitab Ghayah yang saya namakan Riyadhah Al-Uqul ‘Ala Ghayah Al-Wushul. Setelah itu, saya menulis lagi, Ta’liqat Muqaddimah Majmu’, dan seterusnya.”
Red: Motivasi apa yang membuat Kiai tergugah untuk menulis kitab?
KA: “Sebenarnya, motivasi untuk menulis sudah ada jauh sebelum itu. Semenjak saya masih sekolah di Lirboyo, saya sudah sering memberikan catatan-catatan pinggir di beberapa kitab yang saya maknai. Bahkan, sering juga saya membuat judul-judul kitab yang kelak mungkin akan saya karang.
Artinya, waktu di Lirboyo itu sebetulnya sudah ada keinginan untuk menulis kitab. Terutama yang saya ingat itu ingin menulis sebuah kamus, semacam kamus bahasa Arab-Indonesia. Walaupun sudah banyak beredar kamus seperti Al-Munawwir dan lain sebagainya.”
Red: Hal apakah yang paling dibutuhkan oleh seorang santri untuk terjun dalam kepenulisan kitab?
KA: “Dari pengalaman saya menulis, yang paling utama adalah perbendaharaan mufradat (kosakata Arab) yang cukup. Dan untuk mendapatkan mufradat yang cukup itu, caranya kita harus banyak-banyak buka kamus. Harus sering-sering dan jangan bosan. Saya menekuni kamus itu sejak dari Lirboyo (yang sampai membuat saya ingin membuat kamus seperti yang tadi saya ceritakan).
Kalau dihitung, mungkin sekitar 30 tahun saya mendalami kamus. Bahkan menurut saya, pengetahuan mufradat itu lebih penting sebelum sharaf dan nahwu. Karena dalam menulis, yang pokoknya itu ilmu mufradat, ilmu kamus.
Makannya banyak di pesantren lain, mereka kurang ahli dalam nahwu-sharaf, tapi masih bisa menulis, karena pokoknya yaitu mufradat itu sudah mereka kuasai. Jadi setelah mufradat, baru dalamilah tasrif dan nahwu. Mufradat itu untuk mengetahui keseluruhan dari sebuah susunan huruf, baik awalnya, tengahnya, dan akhirnya. Sedangkan sharaf kan hanya untuk awal dan tengah, sedangkan nahwu untuk akhirnya saja.”
Red: Adakah tips dan trik agar para mahasantri dapat lebih produktif dalam menulis kitab atau karya ilmiah?
KA: “Menurut saya, untuk bisa produktif dalam menulis kitab itu perlu bertahap. Bertahap dari materi yang mudah, seperti ilmu-ilmu alat. Kemudian setelah kita berhasil dari yang mudah, kita naik lagi ke yang lebih sulit. Jadi artinya, dimulai dari sesuatu yang mudah, yang kita mampu menjangkau.
Kalau kita sudah berhasil mengerjakan yang mudah, nanti akan termotivasi untuk mengerjakan yang di atasnya, yang lebih tinggi lagi, yang lebih sulit lagi, dan seterusnya. Apalagi kalau kita dapat dukungan dari pembaca, akan ada dorongan lebih untuk menulis suatu yang baru dan seterusnya.”
Red: Bagaimana pandangan Kiai terhadap mahasantri Ma’had Aly Lirboyo yang setiap tahunnya menerbitkan karya ilmiah?
KA: “Bagus sebetulnya. Sangat bagus! Jangan sampai diputus dan harus dilanjutkan. Hanya saja, saran saya kalau bisa beberapa angkatan dimulai untuk menulis suatu karya ilmiah dengan bahasa Arab. Sebab jika ditulis dengan bahasa Arab itu sangat bermanfaat bagi santri-santri Lirboyo itu sendiri. Selama ini kan kita terfokus bagaimana caranya karya ilmiah Lirboyo itu dapat bermanfaat bagi orang luar.
Padahal, orang yang ada di Lirboyo sendiri juga perlu merasakan kemanfaatan tersebut dengan sebuah karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa Arab. Gunanya ya untuk semakin mengasah dan mempertajam pemahaman santri dalam menganalisis kitab berbahasa Arab yang menjadi fokusnya saat ini. Intinya agar para santri itu terbantu.
Selain itu, satu lagi saran saya adalah bagaimana taqrirat-taqrirat Lirboyo itu dita’liq (diberikan catatan kaki) dan ditahqiq. Semuanya itu juga untuk membantu proses belajar dan menunjang pemahaman para santri. Misalnya taqrirat semacam Alfiyah Ibn Malik, ‘Uqud Al-Juman, Jauhar Al-Maknun, Sulam Al-Munawraq, Faraid Al-Bahiyyah, dan lain sebagainya.
Sementara ini kan sudah ada di toko-toko yang diketik pakai komputer, cuma itu tanpa rujukan. Jadi, bagusnya ada karya ilmiah yang fokus di situ. Fokus mentahqiq taqrirat Lirboyo. Bayangkan saja kalau semua taqrirat Lirboyo ditahqiq. Luar biasa itu, sudah banyak karya. Dan juga, dalam penulisan taqrirat Lirboyo itu kita harus mencari tahu siapa yang menyusun taqrirat Lirboyo tersebut. Hal ini juga perlu dicari tahu. Jika ada penelitian serius, maka hal demikian masih bisa dilacak. Intinya, Al-Muhafadah Ala Al-Qadim As-Salih. Wa Al-Akhdu bi Al-Jadid Al-Ashlah ini.”
Red: Terakhir, kesan apakah yang paling Kiai ingat saat mondok di Lirboyo, berikut kesan selama pelaksanaan Dauroh Ilmiah di Ma’had Aly Lirboyo ini?
KA: “Saya akui sendiri, walaupun saya dulu bukan yang pintar bahkan banyak kawan-kawan yang lebih pintar dari saya, tidak pernah jadi rois pelajaran tapi ada barokah dan manfaat dari sistem pembelajaran di Lirboyo yang begitu membantu kehidupan saya ke depannya. Kebiasaan-kebiasaan di Lirboyo seperti memberi makna, itu manfaatnya luar biasa. Seakan-akan ada sari-sari ilmu yang melekat dari kebiasaan itu dan terus saya terapkan ketika belajar di beberapa tempat seperti Al-Ahgaff, Yaman.
Lalu untuk kesan pelaksanaan Dauroh Ta’lif Al-Kutub, yang jelas saya senang sekali. Sebetulnya saya ada cita-cita, saya sudah pernah beberapa kali diundang ke Pasuruan, Sidogiri, Genggong, Aceh, hingga kemana-mana, tapi almamater sendiri kok tak kunjung mengundang. Hehe.
Dan alhamdulillah, mungkin sekitar tiga bulan lalu, ada yang mengirim pesan ke saya untuk mengisi Dauroh di Lirboyo. Jadi yang jelas, senang sekali. Apalagi kualitas pesertanya berbeda, sehingga ketika saya menyampaikan materi dauroh bisa lebih mudah,” pungkasnya menutup sesi wawancara.
M. Jihad Al-Khoiri
23 Apr 2025
Pondok Lirboyo tak hanya mengatasi persoalan sampah plastik, tetapi juga memberi teladan sebagai pesantren ramah lingkungan
18 Jun 2025 101 views
Berikut sejumlah kiat agar produktif dalam menulis kitab hasil wawancara eksklusif dengan Kyai Asep
18 Jun 2025 81 views
Kuliah Takhassus bertujuan untuk menunjang kreativitas dan keilmuan mahasantri
13 Jun 2025 183 views
M3HM menggelar workshop jurnalistik dengan tema Pesantren dan Dunia Kreatif

Comments are not available at the moment.